Tuhan tidak perlu di bela tetapi mereka yang tertindas yang harus kita bela (Gusdur)

Revolusi Industri yang digulirkan oleh Negara Barat memaksa Inggris, Prancis, Portugis, Belanda dan Spanyol untuk berlomba-lomba mencari barang mentah dan barang setengah jadi untuk dijadikan bahan dasar industri. Maka pada abad 17 hingga abad 20 negara-negara Barat berlomba-lomba mencari wilayah koloni yang dijadikan sapi perah untuk memakmurkan negara-negara “Barat.” Hal ini menimbulkan persaingan negara-negara penghisap untuk memperluas wilayah jajahan, pada akhirnya memunculkan penindasan yang di ejawantahkan dalam bentuk kolonialisme atau imperialisme.
Penjelajahan mencari rempah-rempah rupanya sudah di gagas Negara Barat masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Namun gerakan kolonialisme baru dimulai ketika muncul kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, Sebut saja Samudra Pasai, Demak, Cirebon, Banten , Tidore, Ternate, Aceh Darussalam, dan sebagainya.
Kondisi zaman yang telah dicekam kolonialisme ini telah mengundang kegelisahan Jalaluddin al-Afghani untuk menyatukan kembali negara-negara muslim dunia dalam satu kuasa, karena sebagian besar negara-negara yang menjadi wilayah jajahan adalah negara-negara muslim, yang salah satunya adalah Indonesia. Jalal mencoba menggagas kembali komando satu arah untuk membangkitkan semangat bangsa-bangsa terjajah, dengan ide Pan-Islamisme. Hal ini mutlak berimbas pada kesadaran nasionalisme serta hak untuk merdeka, khususnya negara-negara muslim yang terjajah. Jalalpun mempelopori penggalangan ulama di Makkah pada saat musim haji tiba. Paham Pan-Islamisme yang dicanankan Jalal kemudian di adopsi oleh tokoh-tokoh pergerakan Indonesia salah-satunya adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang tertuang dalam ide Islam, Sosialisme, dan Nasionalisme, dalam perjuangan untuk membebaskan Indonesia dari penjajah HOS Tjokroaminoto telah menggembleng kader-kader terbaiknya seperti Marijan Soedarmaji Kartosoewiryo, Samaun, Darsono, dan Soekarno yang dikemudian hari akan menjadi akar gerakan di Indonesia dan mengilhami lahirnya (DI/TII) NII, PKI, dan asas Kebangsaan Indonesia.
Pertarungan perebutan bahan mentah oleh Barat yang akan dijadikan amunisi industri akhirnya menjadi persaingan yang tak kenal kompromi. Pelayaran pun dilakukan untuk mencari rempah-rempah. Fasco dadama, Alfonso abelquerque, Colombus adalah pelaut ulung bahkan mungkin mengalahkan tokoh kartun Popeye the Sailorman di tv. Indonesia merupakan penghasil rempah terbaik dan sangat termashyur di Negara Barat, hal ini yang menjadikan Negara Barat seperi Portugis, Spanyol, dan Belanda untuk memonopoli arus perdagangan dari kepulauan Indonesia. Pada awalnya Negara Spanyol dan Portugis saja yang mencoba peruntungan mencari rempah-rempah, namun pada akhirnya Belanda pun ikut-ikutan ambil bagian. Persaingan untuk mengeruk sumber alam Indonesia pada gilirannya memaksa Inggris sebagai negara yang menang perang untuk campur tangan, Inggris yang mempunyai ikatan emosional dengan Belanda, mencoba mendorong Belanda untuk memonopoli perdagangan di Indonesia, baik di Malaka, Ternate, Jawa, Samudra Pasai, Sunda Kalapa dan mengusai pelabuhan-pelabuhan teramai di Indonesia.
Belanda dengan koloni dagangnya (VOC) telah mengeruk semua sumber daya alam yag ada di Indonesia, yang pada akhirnya menibulkan keresahan dan perlawanan dari rakyat Indonesia. Namun bukan hanya VOC yang mengendalikan perputaran ekonomi di Indonesia. Persaingan dalam bidang ekonomi juga terjadi pada Negara Cina dan Negara Timur Tengah untuk mencari lahan dagang, begitupun kaum pribumi yang di pelopori oleh H. Samanhudi juragan batik yang berusaha dengan gigih membentuk Sarekat Dagang Islam (SDI) yang bertujuan untuk menopang persaingan dagang negara-negara Barat sekaligus modal untuk melakukan pergerakan. Di kemudian hari nama SDI berubah menjadi Syarikat Islam yang di gawangi oleh HOS. Tjokroaminoto. Kesadaran untuk melawan penjajahan sebenarnya sudah di awali oleh pahlawan-pahlawan yang melakukan pemberontakan di berbagai wilayah. Sebut saja Imam Bonjol, Pangeran Diponogoro, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, Sultan Hasanuddin Makasar, Sisinga Maharaja, Sultan Baabullah dsb. Walupun banyak perlawanan mereka dimentahkan Belanda, perlawanan-perlawanan para pahlawan ini telah banyak menguras kas VOC dan pada akhirnya mengalami kebangkrutan karena banyak juga pejabat VOC yang korupsi. Di bubarkannya VOC sebagai koloni dagang memaksa Belanda untuk memutar otak agar kerugian dapat dipulihkan, maka muncullah system tanam paksa dan kerja rodi yang menyengsarakan rakayat Indonesia*.
Munculnya Jepang sebagai negara anggota dalam perang dunia memaksa Belanda angkat kaki dari bumi pertiwi, Jepang yang pada mulanya memakai strategi saudara tua dengan A3nya (Jepang Saudara Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya asia) mencoba menghegemoni rakyat Indonesia untuk tunduk dan patuh, walaupun pada akhirnya akal bulus Jepang tercium juga sebagai penjajah. Japang sebagai Negara Asia telah berani mempermalukan AS dengan membombardil Hawai. Hal ini memaksa Negara-negara yang tergabung dalam sekutu untuk menghimpun kekuatan baru menghancurkan Jepang. Tokoh gerakan seperti Soekarano, Shahrir, Hatta yang pada mulanya di penjara oleh penjajah Belanda sengaja dikeluarkan oleh Jepang dengan tujuan untuk menjadi mediator rakyat agar mau dijadikan pasukan cadangan melawan sekutu, Tanpa disadari oleh Jepang Soekarno dan teman-temannya akhirnya menjadi boomerang meruntuhkan penjajahan Jepang juga, sebagai contoh pemberontakan PETA Supriyadi di Blitar, dan tepat ketika Hirosima dan Nagasaki di bom atum Jepang mulai keteteran. Cerdasnya, ketika PD II tersebut, kaum pergerakan Indonesia mampu memanfaatkan kekalahan Jepang untuk memproklamasikan Kemerdekaan tanggal 9 Ramadhan atau 17 Agustus 1945**, berikutnya pengesahan Undang-Undang Dasar, dan Pancasila.
Nama Indonesia sendiri di ambil dari perpustakaan Samratulangi ketika itu Soekarno sedang berjalan-jalan dan ia menemukan perpustakaan Sam yang bertuliskan “Indonesia” yang menurut sam di artikan sebagai negara kepulauan, walaupun demikian sebenarna nama Indonesia itu sudah jauh-jauh hari telah diwacanakan oleh para aktivis mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda sebagai media wahana perlawanan.
Orok Negara Indonesia yang baru terlahir di guncangkan kembali dengan adanya agresi militer Belanda yang memaksa Soekarno-Hatta memindahkan Ibukota Negara ke Jogjakarata. Turunnya Inggris sebagai wakil negara sekutu memaksa para gerilyawan yang di pimpin oleh Jendral Soedirman dan sang orator bung Tomo untuk melakukan perlawanan dengan meminta restu dari Mbah Hasyim (pendiri NU), Dirman dan prajurit yang bermodalkan bambu runcing dan bedil locok merhasil membuat Jendral Mallaby mati terkapar***. Hal ini memaksa Inggris atas desakan Belanda menangkap Soekarno-Hatta sebagai pucuk pimpinan. Soekarno memandatkan tampuh kepemimpinan kepada Safrudin Prawiranegara dan ibukota negara di pindahkan ke Bukit Tinggi**** dengan bentuk negara NKRI berubah nama menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), ketika keadaan sudah pulih kembali maka tongkat kepemimpinan diserahkan kembali pada Soekarno dan Syafrudin pun sadar diri tentang hal ini.
Bayi Indonesia yang mulai belajar merangkak memaksa Kartosuwiryo untuk melakukan pemberontakan dengan Darul Islamnya pada tahun 1947 Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia, walaupun pada akhirnya berhasil ditumpas oleh pasukan Siliwangi. Pemberontakan-pemberontakan semacam ini pun terjadi di daerah-daerah namun dapat di padamkan.
Gagasan yang sangat produktif yang dilakukan oleh Presiden Soekarno adalah dengan mengumpulkan negara-negara Asia-Afrika dalam gerakan Non Blok sebagai bentuk jawaban atas sengketa perang dingin idiologi dan ekonomi komunisme vs kapitalisme. Itu berlangsung hingga era orde baru yang didukung oleh kapitalis liberal. Pada akhirnya, ketika perang dingin usai, dukungan terhadap Indonesia sebagai negeri penting secara geopolitikpun dicabut. Dalam kecompang-campingan dan terhuyung-huyung oleh gempuran zaman Indonesia harus sudah bertarung di arena pasar bebas neoliberalisme.

ANALISIS
Sebagai bahan refleksi bahwasannya proses perjuangan bangsa Indonesia dari pra-kemerdekaan sampai hari ini tidaklah sedikit proses-proses perjuangan para syuhda bangsa dalam melawan kolonialisme dan imperialisme. Rentetan pergerakan dalam tiga abad lebih sebelum kemerdekaan 1945 menyisihkan banyak hikmah yang mesti kita ambil sebagai semangat proses revolusinya Indonesia, fase pra-kemerdekaan ini pantas dianggap sebagai jaman pergerakan.
Penghisapan dan penjajahan terhadap bangsa Indonesia mestinya patut kita refleksikan kembali dalam basis-basis kenyataan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam watak dan karakter perjuangan dalam perlawanannya menghadapi penjajah. Karena tidak sedikit proses hukum perkembangan masyarakat yang jatuh berguguran satu sama lain dan hukum penyelesaiannya pun saling berkontradiksi perang saudara, antar kepentingan, antar kepercayaan pandangan agama, sampai pada perhelatan pandangan “Indonesia” sebagai negara satu bangsa dan tanah air, satu bahasa dan satu cita-cita yakni kemerdekaan Indonesia. Semua peristiwa ini bisa kita kupas dan refeksikan kembali dalam sejarah pra-kemerdekaan Indonesia.
Revolusi Agustus 1945 dan revolusi-revolusi sebelumnya adalah rentetan jaman pergerakan menuju kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah momentum terbesar Indonesia merdeka. Proklamasi adalah kalimat yang paling tepat sebagai pandangan dan tindakan kolektif atas cerminan perjuangan rakyat Indonesia, basis material dalam perjuangan untuk mengusung perubahan dari penindasan dan penjajahan adalah kekuatan kedauatan rakyat. Kedauatan rakyat ini tercermin pada kepemimpinan Soekarno-Hatta.
Namun, pancaran perjuangan perubahan Indonesia patut dipertanyakan kembali ketika pancaran basis material (rakyat Indonesia) mengalami hambatan. Ketika skanario politik imperialisme melancarkan penangkapan Soekarno-Hatta (1949-1951), perjuangan dan kedaulatan rakyat ternodai. Revolusi rakyat menjadi terhambat hingga sekarang. apalagi dengan semangat perkembangan penindasan model baru dan berwatak halus (kapitalisme global) mengitari selubung masyarakat dalam ruang-ruang kesadarannya, yakni dengan dibarengi teknologisasi infomasi yang super dahsyat.
Realitas hari ini demokratisasi yang setiap saat digembor-gemborkan hanyalah bungkus semata. Karena sekian banyak aparatur negara bicara dan berkomentar tentang keadilan dan demokrasi, semakin banyak pula kebobrokan yang disodorkan di depan mata rakyat Indonesia. Ide dan pelaksana ide tentang makna kedaulatan rakyat dan demokratisasi lepas dari pantulan basis material, yakni kepentingan dan keperluan rakyat yang sebenar-benarnya. Proses yang selalu kontra produktif antara kebutuhan primer negara, yakni rakyat itu sendiri dengan system yang diterapkan dan dijalankan oleh pemerintahnya (pemerintahan komprador). Pemerintahan komprador dalam dunia ke III seperti halnya Indonesia hari ini tidaklah lepas dari pusaran kepentingan penghisapan, pengembangan dan pemusatan kapitalisme, yakni neo-imprialisme.
Dengan demikian Indonesia telah terkepung di tengah niaga-laut yang menjadi lintasan negara-negara ekonomi kuat tanpa banyak mampu mengangkat muka dan buka suara untuk menentukan bagaimana jalan hidupnya. Indonesia hari ini telah menjadi pasien yang koma menunggu diagnosa dokter bernama rezim neo-imperium yakni IMF-Word Bank-IDB and associated banks yang bekerja secara numeric dengan mengesampingkan tata dan nilai kemanusian.
Akhirnya, Negara kita semakin susah mendefenisikan kondisi kesehatan keuangannya. Belum lagi jika harus mengingat pedihnya menjadi negara penghasil SDA yang subur di satu sisi, namun juga negeri pengekspor sebagian besar SDA alias TKI disisi yang lain. Dalam pasungan berbagai traktat internasional atas nama monetarisme, demokrasi, HAM, transparansi, dan juga good governance negeri ini seperti menyediakan diri untuk dibedah secara total oleh para konsultan asing yang tidak pernah mengerti “bagaimana susun-bangun lapis masalah negeri ini.“
Persoalan selanjutnya adalah masih mungkinkah kita bangkit dari pasungan demikian kuat ini? Masih mungkinkah kita menetap satu matahari yang sama akan terbit 50 tahun ke depan di 3 titik waktu yang berbeda di negeri yang kita sebut INDONESIA ini? Atau masih ada perjalanan yang bisa kita retas untuk, satu demi satu, menatap kembali kehidupan yang lebih bermartabat dimasa depan?
Daftar pertanyaan ini bisa jadi akan sepanjang garis pantai yang kita miliki jika kita teruskan. Dan sudahlah terbayang bagaimana kita mengumpul jawab untuknya. Persoalannya tentu bukan pada seberapa panjang daftar masalah yang bisa kita susun, melainkan seberapa kuat keinginan dan keberanian kita untuk berubah dan memulai untuk jujur melihat porak porandanya negeri ini. Kejujuran para pemimpinnya, politisinya, pedagangnya, intelektual dan cerdik pandainya, dan tentu juga yang tak boleh ketinggalan adalah kejujuran rakyatnya.
Tapi mengapa kepemimpinan menjadi penting untuk kita pertanyakan? Tentu saja karena negara manapun maju karena pemimpinnya berpikiran maju, begitupun sebaliknya negarapun akan hancur ditangan pemimpin yang tidak berpikir maju. “Merah-hitam sebuah bangsa” demikian para bijak bertutur, “adalah merah-hitam pemimpinnya”. Seberapa besar kesungguhan para pemimpin di Repubik ini untuk maju, disitulah 200 juta lebih rakyat Indonesia akan ditentukan.
Sebagai bagian dari system internasional, Indonesia tidak bisa terhindar dari proses globalisasi, kompleksitas problem dan perkembangan dunia yang tercermin dalam globalisasi, mengharuskan bangsa Indonesia untuk secepatnya menentukan sikap agar mampu berpartisipasi di dalamnya. Demikian konsekwensi logis yang harus diterima oleh bangsa ini bekerja keras merubah dirinya sendiri dengan memperluas cakrawala dan sudut pandang dunia (word view). Secara geografis Indonesia sungguh menarik di mata dunia, selain karena luas wilayah dan potensi alamnya juga letaknya yang strategis di kawasan Asia Pasifik. Jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta jiwa memudahkan untuk meakukan mobilisasi sumber daya manusia sebagai basis tenaga yang produktif. Karena posisi inilah, tidak mengherankan jika Indonesia dianggap penting oeh hampir semua perusahaan multi-nasional yang nota bene merupakan actor penting dalam globalisasi.
Dalam momentum ini maka sudah seyogyanya sebagai kader bangsa yang akan memegang tongkat estafet perjuangan bangsa kedepan kita semua merefleksikan konstalasi bangsa terkait Kemerdekaan untuk siapa? Sebagaimana yang telah diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 Alinea pertama:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan
Kita miris dengan konstalasi bangsa hari ini secara defacto dan dejure Negara kita sudah merdeka sejak 1945 tapi pada realisasinya dimasyarakat penjajahan dengan bentuk baru semakin merajalela sehingga menimbulkan konflik horizontal dimana-mana dalam berbagai sector kehidupan,fenomena paradoksal terjadi dimasyarakat yang seharusnya rakyat merasakan udara segar kemerdekaan tapi dilapangan kesengsaraan, kemiskinan, diskriminasi, budaya patriarki, subordinasi dll dirasakan rakyat Indonesia. Padahal sesungguhnya kemerdekaan adalah untuk rakyat Indonesia bukan untuk elit-elit politik, pengusaha ataupun siapapun dia yang berkuasa, sepatutnya sebagai bagian dari rakyat Indonesia bersatupadu mengawal negeri karena ditangan kita tergenggam arah bangsa kalau perlu kita ciptakan revolusi kembali sebagaiman ayatulah Imam khumaeni pernah berkata “revolusi tercipta dari kaum tertindas” dan tak ada kata lain hanya ada tawaran “tunduk tertindas atau bangkit melawan”?
Satu kata terakhir dari saya SATU !!!!.