Indonesian Economic Responsibility || Negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang hari ini memasuki Putaran ke-16 (16th Round of Trade Negotiating Commitee on RCEP),
Indonesian Economic Responsibility||Negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang hari ini memasuki Putaran ke-16 (16th Round of Trade Negotiating Commitee on RCEP),
Front Perjuangan Rakyat (FPR) menggelar aksi massa di depan gedung International Convention Exhibition (ICE) BSD, Serpong, Tangerang Selatan, Indonesia.Selasa, 6 Desember 2016 - 12.00/14.45 WIB.
Aksi ini ditujukan untuk menegaskan penolakan Rakyat Dunia terkhusus di indonesia akan adanya Proses negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang hari ini memasuki Putaran ke-16 (16th Round of Trade Negotiating Commitee on RCEP), negosiasi ini diselenggarakan dari tanggal 6 sampai 10 Desember 2016, di International Convention Exhibition (ICE) BSD, Serpong, Tangerang Selatan, Indonesia.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan menjadi tuan rumah pelaksana agenda ini. Negosiasi ini dihadiri oleh sekitar 600 delegasi dari 16 negara partisipan RCEP. Keanggotaan RCEP mencakup 10 negara ASEAN (Filipina, Thailand, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam) dan 6 negara mitra dagang ASEAN (Cina, Australia, Jepang, India, Korea Selatan, New Zealand).
RCEP merupakan bentuk mega-regional FTAs di Asia Pasifik. FTAs terus dimajukan pasca kebuntuan negosiasi World Trade Organization (WTO) yang pada dasarnya disebabkan oleh resistensi kuat dari gerakan rakyat terhadap intensifnya serangan neoliberal. FTAs semakin nampak di Asia Pasifik melalui skema terkini yang disimpulkan sebagai TPPA (Trans-Pacific Partnership Agreement) atau Perjanjian Kerjasama Trans-Pasifik yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan yang dipimpin oleh Cina yakni RCEP atau Kerjasama Ekonomi Regional Menyeluruh.
RCEP akan terus melanjutkan liberalisasi perdagangan dan investasi. Isi perjanjiannya hampir sama dengan TPP yang mencakup aturan ketat tentang perdagangan barang, jasa, belanja pemerintah, E-Commerce, perlindungan hak atas kekayaan intelektual (termasuk paten atas obat-obatan, hak cipta, indikator geografis, sumber daya genetik, benih, dan lain-lain) hingga mengatur perlindungan dan penyelesaian sengketa dalam investasi.
RCEP dan kerjasama perdagangan bebas lainnya didesain untuk memastikan kontrol ekonomi di suatu wilayah seperti halnya yang dilakukan oleh WTO melalui kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi di berbagai sektor. Perjanjian semacam ini hanya akan terus melanjutkan serangan neoliberal terhadap rakyat. RCEP akan memaksa berbagai negara semakin berlomba untuk mengundang investasi asing dengan menyajikan lingkungan bisnis yang semakin menarik bagi korporasi tapi tidak bagi rakyat.
Jika disahkan dan diimplementasikan, klas buruh, kaum tani, perempuan, buruh migran, mahasiswa, nelayan, kaum miskin kota, masyarakat adat, suku bangsa minoritas, dan kelompok tertindas lainnya di Indonesia akan merasakan dampak buruk dari kerjasama ini.
RCEP semakin menjerat buruh dalam politik upah murah. Monopoli dan perampasan tanah akan semakin meluas karena fasilitasi hak kepada korporasi untuk menguasai tanah. Petani, perempuan, masyarakat adat, dan suku bangsa minoritas akan sangat rentan menjadi korban anjloknya harga produk pertanian, dan dikriminalisasi atas penggunaan benih dan varietas tanaman tertentu tanpa izin dari perusahaan pemilik hak paten. Privatisasi sektor pendidikan yang akan semakin kukuh menyebabkan pemuda, pelajar, mahasiswa akan semakin sulit mengakses pendidikan karena biaya semakin mahal. Obat-obatan akan semakin mahal dan tak terjangkau oleh masyarakat luas karena RCEP akan melegalkan korporasi atas hak paten dan monopoli produksi obat-obatan tertentu dan menetapkan harga yang tinggi. Lebih lanjut, kemerosotan hidup rakyat di berbagai sektor akan menyebabkan meningkatnya migrasi paksa masyarakat Indonesia ke berbagai negara.
Front Perjuangan Rakyat (FPR) secara tegas menolak RCEP dan menuntut agar negosiasi ini dihentikan segera. FPR juga menyerukan pentingnya solidaritas, mobilisasi, kampanye, dan pengorganisasian massa di seluruh Indonesia untuk melawan seluruh bentuk perjanjian perdagangan bebas (FTA) baik bilateral dan regional karena hanya akan merugikan rakyat di Indonesia.
turut serta PC PMII Kota Bandung dalam Aksi gabunga tersebut yang ikut menyuarakan suara perlawanan atau penolakan untuk ijin liberalisasi ekonomi indonesia sahabat Yogi afendi selaku oerwakilan dr organisasi Pergerakan Mahasiswa ISlam Indonesia.!
di lansir dr acount aoamwd fb sahabat Yogi Adensi tanggal 07 desember 2016.