Kendali oligarki menggoyah demokrasi
Oleh : Fardan el Basith
DEMOKRASI DIBAWAH KENDALI OLIGARKI.
Menarik sekali membaca majalah Prisma (edisi vol. 33 no. 1, 2014) yang mengangkat tema tentang “Demokrasi di Bawah Cengkraman Oligarki”. Majalah setebal 140an halaman itu mengulas penjelasan mengenai apa yang dimaksud sebagai oligarki dan fenomena yang terjadi di Indonesia mulai pemerintahan Orde Baru hingga reformasi saat ini. Seperti yang dikatakan oleh Jeffrey A Winters dalam salah satu tulisannya (pada halaman 11- 34), ia berusaha membangun pemahaman ulang mengenai oligarki, terlepas dari pemahaman kita sebelumnya mengenai oligarki yang hanya dikenal sebatas, “kekuasaan minoritas pada mayoritas.”
Dalam bukunya berjudul Oligarchy, seperti dikutip dalam tulisan Dicky Dwi Ananta, “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Indonesia Kontemporer,” Winters menjelaskan oligarki yang menekankan pada kekuatan sumber daya material sebagai basis dan upaya pertahanan kekayaan pada diri mereka. Adanya ketidaksetaraan material tersebut kemudian menghasilkan adanya ketidaksetaraan kekuasan politik.Istilah oligarki sendiri diambil dari bahasa Yunani, “Oligarchia”, yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit, terdiri atas kata oligoi (sedikit), dan arkhein (memerintah). Namun menurut Dicky, pengertian singkat mengenai oligarki tersebut sangat problematis dan tidak memadai untuk mendefinisikan oligarki. Hal itu karena masih menimbulkan kekaburan makna mengenai oligarki itu sendiri. Apalagi bila itu disematkan hanya pada konsep “minoritas yang menguasai mayoritas”.Bila konsep oligarki didasarkan pada hal demikian, hampir setiap kekuasaan atau pemerintahan, yang menempatkan adanya minoritas dalam memimpin, maka dapat disebut sebagai oligarki.
Konsep Oligarki
Secara konseptual, istilah Oligarki telah lama dikenal dalam studi politik. Istilah ini sudah muncul sejak jaman Yunani Kuno hingga era sekarang. Konsep oligarki di era modern, tidak bisa dilepaskan dari tiga orang pakar politik Indonesia: Vedi R Hadiz, Richard Robison, dan Jeffrey Winters. Karya Robison dan Hadiz, Reorganising Power: The Politics of Oligarchy in the Age of Markets, dan karya Winters berjudul Oligarchy, menekankan keunggulan sumber daya material sebagai kekuatan politik maupun kekuatan ekonomi. Karya-karya tersebut secara teoretis berbeda dengan konseptualisasi oligarki yang muncul dari tradisi teori kekuasaan elite dan teori elite dalam ilmu politik dan sosiologi.
Hadiz dan Robison menulis tema oligarki untuk menjelaskan fenomena ekonomi-politik di Indonesia pasca-Soeharto. Teori oligarki digunakan untuk menggambarkan kekuatan-kekuatan yang menjadi lingkar inti kekuasaan di Indonesia, yang mendominasi struktur ekonomi dan struktur politik Indonesia pasca-Orde Baru (Hadiz dan Robison, 2004).
Sementara Jeffrey A. Winters menekankan motif mengejar kekayaan pribadi dalam mengidentifikasi oligark. Oligark adalah mereka yang menggunakan harta untuk mempertahankan kekayaannya.Ia selalu berupa individu, bukan lembaga atau instansi. Sedangkan oligarki merupakan politik mempertahankan kekayaan oleh mereka yang kaya. Oligarki, bagi Winters, tidak selalu merujuk kepada tindakan politik yang dilakukan oligark. Dengan kata lain, dalam koridor pemikiran Winters, seorang oligark tak selalu mesti punya motif politik.
Studi lain yang juga berkutat pada tema oligarki dilakukan oleh Nimrod Raphaeli ketika berbicara soal Saudi Arabia. Raphaeli melihat fenomena penguasaan sumber daya ekonomi dan keuangan oleh elit monarki Saudi.Dalam struktur politik monarkis Saudi Arabia, posisi istana memang sangat sentralistik dan berkuasa.Pemusatan kekuasaan ini tidak hanya terjadi secara politik, tetapi menjalar pada penguasaan kapital oleh “pangeran” dan kerabat Raja (Raphaeli, 2003: 28).
Dari beberapa literatur di atas, disimpulkan bahwa oligarki dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari sisi politik, oligarki merupakan pemusatan kekuasaan pada segelintir elit yang menjalankan urusan publik dengan mekanisme mereka. Hal ini dapat dilihat dari teori Michels tentang “hukum besi oligarki” atau cerita mengenai rejim otoriter seperti Saudi Arabia atau Indonesia era Orde Baru. Kedua, dari sisi ekonomi-politik, oligarki merupakan relasi kekuasaan yang memusatkan sumber daya ekonomi pada segelintir pihak, dalam konteks ini relasi antara kaum industriawan dan elit politik yang saling menguntungkan secara timbal-balik. Cerita mengenai the iron triangle di Amerika Serikat atau oligarki bisnis Rusia masuk dalam kategori ini.
Oligarki Politik dan Demokrasi yang Tergelincir
Sejatinya, dasar teoritis demokrasi adalah kekuasaan (kratos) berada di tangan rakyat (demos).Di dalam segala aspek pembuatan peraturan maupun kebijakan publik, rakyat, dan kepentingannya, adalah titik pijak yang paling utama. Seluruh tata politik, ekonomi, dan hukum dibuat untuk memenuhi sedapat mungkin semua kepentingan rakyat. Marcus Cicero, salah satu filsuf klasik terbesar, menyatakan, bahwa kesejahteraan bersama dari seluruh rakyat adalah hukum yang tertinggi. Filsuf Abad Pertengahan, Thomas Aquinas, juga menegaskan, bahwa tujuan tertinggi dari tata politik (dan juga ekonomi) adalah kebaikan bersama (bonum commune). Sementara tata politik dalam bernegara, sebagaimana dicita-citakan oleh Aristoteles, yakni mencapai kebahagiaan.Untuk itu, Aristoteles menyimpulkan dengan tegas, “Negara yang cacat adalah negara yang hanya mementingkan kepentingan dan keinginan penguasa politis.”
Saat ini demokrasi di Indonesia sudah tergelincir menjadi oligarki, yakni pemerintahan oleh sekumpulan elit politik yang memiliki basis kekayaan meterial. Tak sulit untuk menemukan ini dalam realitas politik Indonesia.Para pemimpin partai politik sekarang ini mayoritas adalah pengusaha-pengusaha kaya. Para calon pimpinan daerah maupun Presiden pun para pengusaha kaya yang siap untuk menaikkan citranya di dalam dunia politik.Mereka membeli politik (kekuasaan) dengan kemampuan ekonomi yang mereka miliki. Sebaliknya, mereka menumpuk ekonomi (material, kekayaan) dengan cara mencari hidup di politik.
Definisi oligarkis sebagaimana digunakan Robison dan Hadiz, bisa juga diterapkan dalam melihat politik lokal di Indonesia.Berbagai kasus korupsi yang menjerat para pejabat daerah, baik di eksekutif maupun legislatif, menunjukkan bagaimana penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi dan jaringan oligarkinya bekerja nyata di tingkat lokal.Kekuasaan tingkat lokal dibagi-bagi di tangan para pengusaha kaya, para birokrat kaya hasil bisnis politik-rente, maupun jaringan keluarga, sebagaimana terjadi di beberapa provinsi.
Ciri utama untuk menganalisis tentang Indonesia dengan menggunakan kerangka oligarki adalah klaim bahwa demokratisasi telah mengubah bentuk politik Indonesia tanpa menyingkirkan kekuasaan oligarki. Baik Winters maupun Robison dan Hadiz berpendapat bahwa struktur formal demokrasi elektoral dapat hidup berdampingan dengan kekuasaan oligarki, terutama bila demokrasi tersebut bersifat minimalis atau prosedural.Hadiz dan Robison juga mengakui bahwa pemilihan umum yang bermakna dapat memengaruhi dan mengubah perilaku oligarki. Kedua analisis tersebut mengakui bahwa demokrasi mempunyai efek nyata bagi kekuasaan oligarki, namun mereka menolak kemungkinan bahwa pengaruh oligark dapat dikurangi oleh proses pemilu yang kompetitif. Menurut mereka, perilaku dan strategi kaum oligark mungkin saja diubah oleh proses demokrasi elektoral—dan desentralisasi—tetapi tidak ada “obat” mujarab yang bersifat institusional, elektoral, atau berdasarkan gerakan massa mampu membasmi problem oligarki.
Dalam perpolitikan saat ini, melalui partai, oligarki menentukan siapa yang menjadi pilihan dan kemudian baru rakyat memilih melalui demokrasi.Politik uang dalam partai menentukan siapa yang menjadi pilihan.Model kekuasaan yang kerap disebut model politik kartel bahakn tampak menggurita. Fenomena ini masih diperparah dengan hukum yang masih tebang pilih. Figur-figur kuat dan oligark tidak tunduk hukum tetapi hukum yang tunduk kepada oligark.Prinsip-prinsip demokrasi dilindas oleh prinsip untung rugi yang kental tertanam di dalam kapitalisme. Partai sekarang dikuasai para oligarkh yang hartawan, misalnya Partai Golkar oleh Aburizal Bakrie, Nasdem oleh Surya Paloh, Gerindra oleh Prabowo Subianto, dan sejumlah pengusaha yang menguasai parlemen (sebagai anggota DPR) hingga 63 persen seperti yang pernah dikemukakan pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk.
Partai dengan penguasaan sumber daya material hendak mempertahankan atau meningkatkan kekayaannya dalam kontestasi pemilu dan jalannya pemerintahan hasil pemilu. Aktivis perempuan, Lies Marcoes dalam “Perempuan dan Langkah Afirmatif” (Kompas, 21/4 2014) menjelaskan, yang terjadi dalam mekanisme rekrutmen caleg di partai cenderung bersifat instans dan diwarnai nepotisme. NPWP (Nomor Piro Wani Piro) menjadi pengetahuan bersama bakal caleg. Puskapol UI melalui hasil pencermatan hasil Pileg 2014 menyimpulkan, berdasarkan profil dan basis keterpilihan anggota legislatif DPR RI 2014-2019, sangat berpeluang kuatnya dominasi fraksi terhadap otonomi anggota. Hal ini terutama disebabkan pola basis rekrutmen yang mengandalkan kekuatan finansial dan kekerabatan untuk mendukung elektabilitas yang tinggi. Dengan kondisi ini, harapan agenda reformasi parlemen dan lahirnya kebijakan yang pro kepentingan publik akan berhadapan dengan kepentingan oligarki (elite politik/fraksi).
Penguasaan oligark terhadap partai membuat pemimpin partai tidak lagi melakukan “leading”, namun melakukan dominasi, dan peran mereka pun bersifat personal. Personalisasi dalam politik, yang juga kompatibel dengan individualism oligark, kemudian dipadukan dengan populisme oleh sistem pemilihan langsung. Di satu sisi, publik dibuat seolah-olah sebagai demos yang kratos melalui direct-one-man-one-vote, padahal umur kratos mereka hanya sekejap ketika mereka berada di dalam bilik suara. Selebihnya, mereka tidak punya akses sama sekali terhadap kekuasaan. Jarak antara publik dengan partai diperlebar, baik atas hasil rekayasa oligarki, maupun reaksi publik sendiri berdasarkan pengalaman traumatik mereka terhadap partai. Problem kegagalan fungsi representasi partai, dan ketidakpercayaan publik terhadap partai tidak ada kaitan langsung, dan tidak akan bisa diselesaikan melalui model pilkada langsung. Akar dari kedua problem tersebut yaitu oligarki.
Winter menegaskan bahwa penjinakan terhadap oligark tidak ada hubungannya dengan kebebasan ataupun partisipasi politik masyarakat.Penjinakan terhadap oligark hanya dapat dilakukan melalui rule of law, dan harus disadari bahwa demokrasi tidak selalu identik dengan rule of law. Indonesia adalah contoh demokrasi tanpa rule of law, sehingga disebut Winters sebagai “criminal democracy”; berbanding terbalik dengan Singapura yang dia sebut sebagai “authoritarian legalism”. Baik Winters maupun Robison dan Hadiz berpendapat bahwa tingkat perubahan politik yang diperlukan untuk menghancurkan hubungan antara kekayaan dan kekuasaan politik di Indonesia (atau di negara lain) pada kenyataannya hanya bisa dicapai melalui revolusi.
Kesimpulan
Tidak terhindarkan, Indonesia saat ini dihadapkan dengan munculnya prospek jangka panjang sebuah demokrasi yang lebih liberal, oligarki yang lebih terkendali, atau bahkan negara kesejahteraan yang lebih efektif, akan sangat tergantung pada hasil dari pertarungan tersebut dan bukan hanya konflik internal di antara orang kaya dan penguasa. Secara khusus, kelompok-kelompok kelas bawah kemungkinan besar menyadari bahwa sekian kemenangan formal yang diperoleh melalui konsesi kebijakan dan reforma hukum tidak akan banyak berarti jika tidak didukung oleh aturan hukum yang efektif dan implementasinya yang konsisten.
Di sisi lain, demokrasi telah tergelincir pada pusaran oligarki. Oligarki hanya kuat dalam kondisi masyarakat yang lemah secara ekonomi dan politik.Kemiskinan dan keawaman politik masyarakat adalah kunci suskesnya oligarki. Para politisi oligark akan terus memproduksi kekayaan dan hegemoninya melalui demokrasi yang prosedural. Dengan demikian, mengutip Max Weber, kita memiliki dua jenis politisi, yaitu pertama mereka yang memilih politik demi suatu cita-cita atau yang secara populer demi idealisme; mereka hidup untuk politik, they live for politics. Kedua, adalah mereka yang memilih politik sebagai karier dari satu tingkat ke tingkat lebih tinggi. Mereka boleh dibilang sebagai politisi yang hidup dari politik, they live from politics. Politik lebih menjadi ladang tempat menanamkan kepentingan, dan mengambil keuntungan.
Namun demikian walaupun sangat berkuasa, oligarki memiliki “cacat” atau kelemahan. Oligarki tidak akan tumbuh dan berkembang sangat kuat dalam masyarakat sipil (civil society) yang kuat. Karena masyarakat sipil paham bahaya oligarki. Saya menutup telaah ini dengan menyimpulkan apa yang dikatakan Winter bahwa yang paling diperlukan agar siklus oligarki tersebut dapat dipatahkan dan terbentuk sebuah tertib sosial baru adalah revolusi sosial dan politik menyeluruh, baik dalam jalur liberal ataupun jalur lain.