GENDER DAN POTENSI ISLAM UNTUK MENSINERGISKAN MUSLIMAH


Perspektif Jender Dalam Islam
Mensinergikan Potensi Muslimah
Dimuat: 26 juni 2016
 

Oleh: F A R D A N eL B A S I T H
Berangkat dari format bahwa Islam mendukung penuh perempuan untuk maju dengan memberi posisi mulia yang sejajar dengan laki-laki, plus dukungan berbagai pembuktian, maka pada langkah selanjutnya tidak ada hambatan dan kendala yang memaksa perempuan untuk menyembunyikan potensinya dalam berkiprah dan berpartisipasi di berbagai sektor kehidupan. Dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad, nabi Muhammad s.a.w. bersabda yang bisa disarikan maknanya, bahwa nabi melarang perempuan yang menyerupai laki-laki dalam bentuk dan penampilan lahiriah. Namun patut difahami bahwa pelarangan tersebut tidak berlaku pada upaya perempuan untuk menyerupai laki-laki dalam kecerdasan dan amar ma'ruf.

              Tidak salah bahwa gerakan feminisme muncul ketika perempuan mulai tertindas, terampas hak asasi dan terpojokkan dari tatanan masyarakat yang "male dominated". Islam adalah pendukung gerakan feminisme karena dalam perjalanan pertama gerakan ini menuntut kesetaraan dan pemberian hak asasi setelah selama kurun waktu lama, perempuan hanya menjadi subordinasi laki-laki dan objek eksploitasi. Dan landasan tuntutan ini menjadi titik kedatangan Islam di bumi Makkah. Meski dalam perkembangannya, fenomena yang ada memperluas aliran feminisme pada tatanan yang mengandung beragam tuntutan dan proses pencapaianya seperti feminisme liberal, radikal, sosialis, ecofeminisme, atau posmodern feminisme. Ekses pembengkakan aliran ini telah membuat jarak yang cukup berarti dari maksud pertama munculnya gerakan tersebut. Namun tidak perlu gusar bila dikatakan bahwa feminis adalah mereka yang memperjuangkan hak asasi perempuan dan ingin mengembalikan posisi perempuan pada kursi yang mulia, memerdekakan perempuan dari ketertindasan dan pengebirian potensi. Di sini feminis bisa seorang laki-laki atau perempuan sepanjang ia berjuang di sektor tersebut.

            Allah berfirman "dan segala sesuatu, Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah"(QS 51;49 ). Yang bisa kita tangkap dari ayat tersebut adalah pesan agama agar manusia senantiasa menjaga sikap balance (imbang) dengan bukti penciptaan segala sesuatu berpasang-pasangan, miskin kaya, tinggi rendah, pintar bodoh, baik buruk, laki-laki perempuan dan sadar bahwa bumi, langit, beserta kehidupan di dalamnya tercipta untuk manusia tanpa memandang apakah ia perempuan atau laki-laki. Keseimbangan harus tercapai dengan kerjasama yang erat untuk mempertahankan kehidupan di bumi. Bila kita analogikan dalam konteks kekinian, berarti laki-laki dan perempuan menjadi penanggungjawab eksistensi peradaban karena esensi keduanya adalah manusia atau kholifah yang dihidupkan di muka bumi ini. Satu kehidupan sosial akan timpang jika individu yang terlibat di dalamnya hanyalah dari unsur yang sama. Namun iklim heterogen akan membuat kehidupan menjadi kaya perbedaan, sedang pada perbedaan itulah terletak suatu aset yang high valued (tinggi nilainya).

                Kemudian, pada hakekatnya setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda dan tinggal bagaimana ia mengolah potensi dan menancapkan visi, kemudian menjadikannya suatu profesi. Sejalan dengan Alqur'an surat alIsraa' ayat 84 yang menyatakan bahwa tiap-tiap orang berbuat menurut keadaanya masing-masing, hanya Allah lah yang mengetahui jalan siapa yang paling benar. Itu berarti menjadi guru adalah profesi, dokter, karyawan, buruh, jurnalis, insinyur, arsitek, politikus, ekonom, ibu rumah tangga, pedagang, penulis dan lain sebagainya adalah juga beberapa profesi yang mulia.

                Muslimah juga telah memperoleh hak mendapatkan pendidikan yang sejajar dengan laki-laki, sayangnya sering pada skala implementasi belum mendapatkan kesempatan untuk mengoptimalkan aset ilmu yang di peroleh untuk kemajuan lingkungan di mana ia berada. Jika rumah tangga adalah tanggungjawab perempuan semata dan bangunan masyarakat yang komplek adalah daerah kekuasaan laki-laki, maka dikotomi ini patut di robohkan. Mengapa? Karena di sinilah terjadi pemborosan sumber daya manusia dan penyia-nyiaan potensi yang seharusnya bisa dikembangkan di tengah masyarakat. Alasan jender tidak bisa dijadikan legitimasi dikeluarkanya larangan bagi perempuan untuk berkiprah di tengah masyarakat, karena dengan begitu justru terjadi pengebirian potensi yang seharusnya bisa disinergikan menjadi salah satu muara penting pencerahan di tengah masyarakat.

              Muslimah dalam berbagai tingkatan juga mempunyai potensi dan kemampuan yang sama bahkan terkadang lebih dari pada laki-laki di beberapa sektor publik. Namun sayangnya karena lingkaran kultur dan pemahaman pesan agama yang tekstual, mereka sering enggan atau memilih tinggal di rumah daripada mensosialisasikan kapabilitas yang dimilikinya. Padahal banyak peluang yang bisa dimasuki oleh muslimah dengan potensi mereka.

               Lalu bagaimana proses pensinergian potensi muslimah pada tataran praktis? Hingga tidak hanya sekedar teori dan bagaimana pula menjaga well-balance pada kehidupan berumah tangga disamping pengembangan potensi di luar lingkungan keluarga? Satu hal yang perlu diluruskan bahwa menjaga gawang keluarga, mendidik anak dan memperhatikan setiap perkembangan emosional dan pendidikannya, serta menjadi nahkoda di sektor domestik bukanlah harga mati tugas utama perempuan. Di mana tidak ada bergaining dalam proses mekanisme pencapaiannya. Bukankah situasi tiap orang berlainan yang menuntut strategi berlainan pula dalam menangani keadaan tertentu? Seorang ibu atau isteri pada satu waktu harus memperhatikan anak-anaknya 24 jam sehari selama 20 tahun usia anak tersebut. Atau melalui pola pendidikan di mana seorang ibu cukup memberi perhatian dan kontrol pada proses pendewasaan anak tersebut tanpa mencurahkan 20 tahun perhatian tetapi hanya pada masa awal pertumbuhan anak tersebut. Jika perbedaan ini diberlakukan pada semua keluarga atau perempuan, sementara situasi tingkat pendidikan dan tuntutan berkiprah di masyarakat sangat berlainan, maka kepincangan justru bermula dari sini. Seperti dalam prinsip The 7 Habits of Highly Effective Family pada habit ke 6 adalah proses sinergi. Artinya suatu kekekuatan dinamik yang dihasilkan dari korelasi antara satu bagian dengan bagian yang lain akan menghasilkan sesuatu yang baru. Kekuatan itu bukan berasal dari pengorbanan tetapi kemampuan memanage tantangan, dengan mengidentifikasikan kemampuan dan mengolah perbedaan hingga sampai pada kesimpulan prinsip "win-win".

                 Di sinilah kemampuan muslimah teruji, bagaimana ia bisa membaca lingkungan tempat kerja, mengatur keluarga, mendidik anak dan tetap mengoptimalisasikan potensi diri. Proses sinergi dalam kehidupan berumah tangga maupun dunia kerja bisa dianalogikan bagaikan keterkaitan kerja anggota badan, dimana di sana terdapat kerjasama erat antara kedua tangan, kepala, kaki, hati, otak dan lain-lain. Kekuatan akan muncul dengan jalinan kooperasi yang baik dan bagaimana keduanya menyambut perbedaan dan bersahabat dengan lingkungan kita berada. Bila proses sinergi keluarga ini berhasil maka pada tahapan selanjutnya sinergi potensi muslimah pun tidak banyak mengalami kesulitan. Karena keberhasilan proses ini juga tidak lepas dari seberapa besar ikatan emosi suami dan kerja sama yang terjalin diantara keduanya. Hal itu berupa kesadaran suami dengan potensi istri dan tidak menghalangi proses sosialisasi ilmu kepada publik dan bergabung dalam keterikatan kerja, keterlibatan dalam lingkungan dan aktualisasi dalam bentuk apapun jika alasan partisipasi ini adalah dalam rangka optimalisasi diri, apalagi jika proses kerja ini dalam rangka meringankan ekonomi keluarga. Kerja atau optimalisasi kapabilitas muslimah tidak lah selalu berasosiasi pada dunia kerja yang bersifat official dalam hitungan jam kerja yang ketat, tapi itu bisa saja berbentuk kerja sosial di LSM , bergabung dalam organisasi politik, kewanitaan, organisasi dakwah dan lain sebagainya.

                  Yang sering terlupakan adalah jika optimalisasi ini sampai pada tingkat workaholic atau kerjamania, hingga muslimah juga lupa bahwa tujuan utama proses sinergi potensi ini adalah membumikan dan mensinergikan potensi untuk amar ma'ruf nahi mungkar. Sering pada realisasinya, tugas mendidik anak dan memperhatikan keluarga terbengkalai, meskipun tanggungjawab keluarga dan mendidik anak adalah tanggungjawab bersama (suami dan isteri). Keluarga tetap nomor satu, lalu memprioritaskan diantara mana yang perlu di kedepankan lah yang patut menjadi pijakan, apa kelangsungan keluarga atau partisipasi di masyarakat atau tugas mencari nafkah, atau ketiganya bisa dilalui dalam waktu yang sama? Itu yang perlu menjadi pertimbangan, bukan dengan mis-uderstanding terhadap pesan agama tentang kedudukan muslimah yang bekerja atau yang mengaktualisasikan diri. Masyarakat di mana pun berada tentu sangat membutuhan ide dan pemikiran para wanita hingga terkadang perannya tidak tergantikan. Pada posisi inilah keterlibatan perempuan dalam masyarakat menjadi wajib hukumnya. Di bidang politik misalnya, muslimah harus ada di sana mewakili aspirasi kaum hawa. Di bidang kedokteran barisan dokter muslimah sangat di butuhkan. Bahkan signifikasi ini juga berlaku pada penanganan kasus-kasus prostitusi, kenakalan remaja, anak jalanan atau dakwah sesama kaum hawa sendiri.

              Akhirnya kembali pada spirit ayat di atas bahwa bumi serta daya tarik di dalamnya diciptakan untuk memenuhi harapan dan satisfaction manusia tanpa ada bias jender di dalamnya. Maka jangkauan pelaksanaan itu bisa berati bahwa posisi kholifah fi-l-ardh itu mengindikasikan bahwa kiprah dan gerak muslimah sangatlah penting, setara dengan kedudukan kaum adam. Dan proyek memajukan dien ini akan terus menjadi harapan kosong bila ummat Islam terus menakar sisi kebenaran dan kesholihahan seorang isteri atau ibu dengan kepatuhannya dan tinggal diamnya di rumah sementara wawasan dan cakrawala keilmuanya sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Maka seyogyanyalah kita sejalan dengan Alqur'an sendiri yang selalu berupaya untuk merekonstruksi tatanan masyarakat yang paternalistik menuju bilateral demokratis.Yang menjunjung kebebasan berekspresi dan mengoptimalisasikan potensi dengan proses sinergi. Dari sinilah eliminasi pemborosan sumber daya manusia dimulai, menuju proses konstruksi yanglebih segar. Tentu saja proses ini masih harus mengalami jalan panjang (tadarruj fi tasyrii'), dengan harapan tidak timbul permasalahan baru karena kesalahan memahami pemikiran ini, karena tentu akan menginspirasikan kerancuan dalam implementasi sinergi potensi muslimah dan kelalaiannya pada tugas alaminya. Dukungan kaum laki-laki pada proses dinamisasi nilai dan pemahaman pesan agama sangat besar, artinya memberi kesempatan dan peluang pada kaum perempuan tidak akan mengurangi kualitas kelaki-lakian seseorang tetapi justru menghasilkan satu kolaborasi indah lii'lai kalimatillah. Wallahua'lam.