Petaka Itu Bernama “Gender”


Ditulis oleh Fardan Abdul Basith

               Kehidupan masyarakat yang telah berjalan dengan tatanan hidupnya terperangah dengan kata yang bernama “Gender”. Apa dan mengapa, merupakan sebuah pertanyaan yang layak untuk di kemukakan. Masyarakat dengan tatanan kehidupannya berjalan mengalir begitu saja. Sebuah pemberontakan yang dilakukan sekelompok perempuan dan orang-orang yang katanya peduli pada perempuan, telah menjadi fokus perhatian dunia. Tatanan kehidupan yang kapitalis liberalis telah melahirkan kekuatan maya, yang bernama hukum rimba. Walaupun sudah banyak bermunculan kota-kota sebagai komunitas kehidupan masyarakat, namun sistem masyarakat kapitalisme-liberalisme dan sekulerisme telah menjadikan kota-kota tersebut menjadi belantara hutan rimba. Tidak perlu jauh-jauh, kita sendiri bisa menyaksikan bahkan mengalaminya sebuah kondisi, betapa siapa yang kuat maka dia yang dapat dan menang. Atau yang kuat selalu menindas dan memakan yang lemah.

Keadilan kemakmuran, dan kejujuran serta kasih sayang hanya sampai pada kalimat-kalimat puitis. Kapital ataupun modal telah menjadi penentu siapa yang akan menjadi policy maker. Dalam tatanan kapitalisme-liberalisme semua bisa dibeli dengan uang, entah itu jabatan, hukum, hawa nafsu, bahkan manusia sekalipun. Sehingga kidakpuasan, kekesalan, dan kebingungan telah menjadi sebuah ledakan yang membelalakan status quo. Demikianlah kondisi wanita dalam system Kapitalisme-sekuler.

Namun, mereka sudah tidak dapat lagi membedakan mengapa mereka tertindas dalam sistem kapitalisme-liberalisme dan sekulerisme dengan hidup mulia dalam sistem Islam yang diruntuhkan oleh laknatullah Kemal Pasya At Tartuk dan Inggris sepuluh dekade yang lalu. Semuanya dilawan dan dianggap sebagai biang ketidakadilan dan ketertindasan wanita. Atau dengan kata lain para feminis tersebut tertindas dalam system kapitalisme sekulerisme namun menyalahkan sistem Islam. Mereka yang awam tentang syariat Islam dan jauh dari nilai-nilai Islam itu menuduh syariat Islam tidak adil pada perempuan. Padahal jika manusia jujur melihat yang nyata. Bahwa konsep system Islam telah termanifestasikan dalam diri manusia. Kejujuran akan menghantarkan mereka menyaksikan bahwa hanya syariat Islamlah yang memuliakan wanita sebagaimana firman Allah SWT: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya.” (Qs. An Nuur: 31) Menurut para mufasirin seperti Imam Jalalain, Ibnu Katsir, Al Qurthubi dll, yang dimaksud kalimat “ yang biasa nampak dari pada wanita” yaitu muka dan telapak tangan. Demikian halnya firman-Nya: “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:’Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Ahzab: 59). Dalam kehidupan Islam, para wanita sangat elok dan terhormat, aurat mereka tertutup rapat, sehingga menjadi mulia. Apabila ada wanita yang keluar rumah tidak memakai jilbab maka orang akan tahu bahwa dia wanita budak atau kafir. Kemuliaan wanita juga diwujudkan syariat Islam dengan sabda Rasulullah SAW : “Surga itu di bawah telapak kaki ibu” (HR. Ahmad). Sementara dalam masalah kepemimpinan Negara serta jabatan politis yang menuntut tanggung jawab besar agar negara menjadi kuat dan kokoh, serta penuh kemakmuran dan keadilan Islam mewajibkan laki-laki. Sementara dalam sektor publik : seperti dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, bekerja, menjadi anggota majelis umah (wakil rakyat) jual beli dll, syariat Islam membolehkan wanita berperan aktif di dalamnya senyampang dapat terjaga kehormatannya, serta fungsinya sebagai ibu tidak terlantar.

Dalam pandangan Islam sebuah kepemimpinan adalah amanah dan pelaksanaannya sebuah ibadah. Pemimpin yang adil dalam sistem Islam dijamin akan mendapat naungan Allah SWT ketika suatu hari di akhirat tidak ada naungan. Oleh karena itu, kepemimpinan tidak diperebutkan dengan dorongan hawa nafsu dan syahwat untuk memimpin sehingga bisa menipu, memeras, merampok rakyat dengan berbagai aturan atau pun undang-undang seperti dalam sistem kapitalisme-sekulerisme.Keadilan dan kemakmuran hanya retorika politik eksploitatif. Oleh karena itu keadilan kemakmuran dalam sistem tersebut sebuah utopia.

Berbeda dengan sistem Islam yang pernah berjaya tidak kurang dari 13 abad bahkan masa Khalifah Umar bin Khathab r.a.(13 – 23 H/634 – 644 M) petugas zakat di wilayah Yaman pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash Shidiq r.a, Umar bin Khathab r.a. yang bernama Muadz bin Jabal r.a. beliau tidak menemukan satu pun masyarakat yang mau menerima zakat/infaq. Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Khalifah Umar. Muadz berkata : ‘Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.’’ (Al Qardhawi, dalam Kiat Islam Dalam Mengentaskan Kemiskinan: 1995). Demikian halnya di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah (99 – 102 H/818 – 820M) masyarakat adil dan sangat makmur sehingga tidak ada yang mau menerima zakat. Sebagaimana yang telah diriwayatkan “Ibnu Abdil Hakam dalam Sirah Umar bin Abdul Aziz : 59 telah meriwayatkan Yahya bin Said bahwa: ‘seorang petugas zakat di masa itu berkata: Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang miskin. Namun saya tidak menjumpai seorang pun. (Al Qardhawi: 1995). Demikianlah kemulian dan kejayaan Islam dan umatnya yang telah dicatat sejarah dengan tinta emas di benak setiap orang yang jujur. Bandingkan dengan system kapitalisme-sekulerisme sekarang , kaum muslimin menjadi kere, tertindas, menderita, dan marginal, bahkan ketika mereka dibunuh pun tidak dapat melawan. Oleh karena itu, Kaum muslimin harus bangun dan sadar serta segera bangkit untuk meraih kemuliaannya kembali dengan menegakkan Al Khilafah Al Islamiyah untuk menerapkan syariah Islamiyyah secara kaffah.Allahu Akbar.

Aktifitas para genderis itu sungguh aneh. Apa yang mereka perjuangkan dan mengapa justru memusuhi sistem Islam yang merupakan sumber kebaikan dan rahmat bagi alam semesta. Aneh memang, mengapa mereka menuduh sesuatu sementara mereka tidak tahu apa yang mereka tuduhkan? Dimana logika mereka yang selama ini di agung-agungkan? Bukankah gerakan femenisme dan genderime itu muncul akibat penindasan para lelaki yang tidak beriman? Atau setidaknya jika mereka beriman tetapi hidupnya dengan sistem kapitalisme-sekulerisme. Mengapa justru bukan sistem hidup mereka yang jelas-jelas sudah tidak laik lagi di gunakan itu, diganti dengan sistem lain. Sistem Islam justru memuliakan wanita/perempuan. Mereka pun alergi dengan kata wanita yang cenderung lembut, halus dan taat. Kata perempuan menurut mereka lebih pas. Memang kesan kata perempuan lebih menantang. Sering para penyair menggunakan kata perempuan-perempuan yang di rangkai dengan kata jalang, sehingga kesan menantang dan perlawanan cukup kental. Jika mereka tetap menuduh Islam dan para pejuangnya berarti ada sesuatu dibalik perlawanan itu yakni para feminis/genderis. Mereka adalah manusia absurd.

Gerakan gender sebuah stake holder orang kafir.

Keterpurukan kaum wanita yang massif telah menumbuhkan sikap dan perilaku pemberontakan terhadap status quo dalam tatanan sosial sekarang ini. Letupan-letupan perlawanan tersebut ternyata justru terdominasi oleh rasa dan emosional, sehingga kehilangan alur logika yang sehat. Oleh karena itu, para penguasa sistem kapitalisme sekuler dan pengusaha yang telah berhasil menguras kekayaan masyarakatnya sehingga menjadi kaya raya, berusaha cuci tangan atas tindakannya. Mereka menggunakan dananya untuk membeli intelektual oportunistik guna menelikung fenomena tersebut. Motif itulah yang menjadikan gerakan feminis telah kehilangan esensinya, yang maunya memperjuangkan nasib kaumnya agar mendapat keadilan, telah berubah menjadi dunia transaksi demi uang. Uang telah manjadi tuhannya. Mereka telah menjual dirinya untuk kepentingan penguasa dan pengusaha Barat serta para kompradornya yang Islamophobia.

Gerakan femenisme dengan gendernya telah menjadi kuda tunggangan Barat dan kompradornya untuk menghantam rival ideologis yakni Islam dan para pejuangannya. Oleh karena itu, mereka telah memunculkan orang-orang pembenci Islam dan para pejuangannya dengan berbagai statemen serta pendapat anti Islam. Bahkan tidak segan-segan dengan memutarbalikan dalil-dalil yang menjadi pijakan Kaum Muslimin. Sementara media massa telah menjadi saluran massif bagi terwujudnya gerakan tersebut.

Cikal bakal “gender”.

Cikal bakal “gender” yang kemudian menjadi petaka bagi masyarakat khususnya kaum muslimin, telah digelontor secara massif oleh Barat dan kroninya. Isu “gender” muncul melalui ICPD (International Conference on Polpulation and Development ) di Kairo 5 – 13 September 1994, kemudian dilangsir dengan Konferensi Wanita Sedunia ke-4 di Beijing (1995) yang memunculkan Beijing Platform for Action. Istilah gender selanjutnya menggelontor dengan deras di tengah-tengah masyarakat, walaupun mereka masih banyak yang latah. Namun persoalannya upaya tersebut telah di buck up oleh pemerintah melaui menteri pemberdayaan perempuan. Masyarakat yang berkesetaraan gender yang mereka impikan didefinisikan:” sebuah masyarakat yang memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan wanita, tanpa ada hambatan gender sosiokultural untuk berpartisipasi secara sukarela dalam berbagai aktifitas di semua level sebagai mitra sejajar, dan tidak mendapatkan halangan untuk menikmati hail-hasil serta bersama-sama bertanggung jawab di bidang politik, ekonomi, sosial, sosial, dan budaya.dalam.” (Vision of Gender Equality, Creating New Values for The 21st. Century, Council for Gender Equality, 1996).

Mereka selalu mempropagandakan pembelaan pada wanita untuk keadilan, kesetaraan, kemakmuran dan sederet alasan yang nampak baik. Mereka tidak pernah mengungkap fakta sebenarnya. Dampak program gender itu telah menjadi petaka bagi masyarakat, perempuan dan khususnya kaum muslimin. Dengan istilah Gender Mainstreaming (pengarusutamaan gender), KKG (Keadilan dan Kesetaraan Gender), bias gender, mereka telah mengharu biru masyarakat menuju petaka dunia dan akhirat. Lihatlah dengan konsep tersebut banyak isteri yang durhaka pada suami, berkembangnya free sex di kalangan remaja dengan ATM kondom, perselingkuhan kalangan orang tua dan perceraian, pelacuran baik terang-terangan ataupun tersembunyi yang di picu dengan pornografi dan pornoaksi baik di dunia nyata maupun maya, maraknya HIV-AIDS akibat pelacuran, bahkan di Barat telah terjadi lost of generation (generasi yang hilang) sebab para wanita tidak mau menikah alih-alih hamil, karena hal itu dianggap bentuk kekerasan pada wanita. Sebuah contoh, demi mengejar kekayaan materi dan kebebasan mereka mengabaikan peran wanita sebagai ibu yang dampak signifikan bagi negara yang telah menerapkan konsep-konsep gender, melalui berbagai cara termasuk lewat undang-undang, seperti: “negara-negara skandinavia utamanya Swedia dan

Denmark dan Norwegia memiliki partisipasi paling tinggi di dunia dalam hal perempuan bekerja. Di Norwegia pada tahun 1963 wanita pekerja hanya 14% yang punya bayi, pada tahun 1969 meningkat 69%. Pada tahun 1985 di Denmark hanya 5% anak-anak di bawah 6 tahun yang mendapat asuhan dari ibunya. Negara-negara di Skandinavia terkenal dengan tingkat ketidakstabilan atau perpecahan keluarga yang paling tinggi di dunia saat ini. Angka perceraian meningkat 100% dalam kurun waktu 20 tahun.” (Ratna Megawangi dalam “Membiarkan Berbeda, 2003). Sadar atau tidak para pengusung gender dan feminis telah menciptakan malapetaka dan menimbulkan kemurkaan Allah SWT.Kita saksikan berbagai kemaksiatan termasuk para feminisme dan genderisme telah menimbulkan adzab Allah SWT dengan multi bencana. Naudzubillahi mindzalik.

Gender yang telah menjadi istilah baru bukan lagi sekedar jenis kelamin, namun sudah terkait dengan posisi sosial dan budaya. Istilah tersebut telah berhasil membuat alibi guna mempecundangi politisi maupun tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Betapa tidak, mereka telah meloloskan berbagai undang-undang untuk memaksakan ide-ide feminisme dengan gendernya. Mereka berangan-angan dengan ide gender itu masyarakat dapat hidup dengan baik, padahal survey telah membuktikan hal tersebut menghasilkan malapetaka.

Hipnotis gender bagi perempuan.

Hingar bingar suara gender terus menggelinding di negeri ini. Penolakan kalangan orang-orang shalih yang mengetahui sesuatu yang disembunyikan kalangan genderisme juga semakin massif. Namun, kekuatan media massa sekali lagi telah menelikung para pejuang Islam. Propaganda gender dengan berbagai alasan manipulatif terus di dengungkan media massa sehingga telinga para wanita yang kebetulan sedang naas nasib kehidupannya langsung bergabung tanpa reserve. Terlebih lagi program-program yang mereka buat telah di buck up oleh pemerintah melalui menteri pemberdayaan perempuan. Posisi tersebut telah menggunakan stake holder birokrasi sampai ke desa-desa dalam rangka menerapkan atau pun memaksakan pada masyarakat. Sebab apabila ada anggota masyarakat ibu-ibu atau perempuan tidak ikut ambil bagian akan digunjing atau dilecehkan para aktifisnya dengan berbagai kata-kata negatif: eksklusif, tidak gaul, udik, kuper, tidak taat pada lurah, dll. Intinya mereka memaksakan kehendak, walaupun dalam dunia publik mereka bilang sukarela, tidak memaksa dll.
Oleh karena itu, daya rusak yang difasilitasi negara akan berpengaruh dalam sekala luas. Di sinilah yang harus dikritisi oleh berbagai elemen masyarakat yang peduli. Apa yang bisa diharapkan dengan kondisi yang demikian itu? Nothing… jawabnya jika kita jujur pada diri kita.
Anehnya propaganda gender seperti menghipnotis para kuli tinta sehingga dilangsir diberbagai media massa. Upaya publikasi itu nampak jelas dipaksakan untuk dipublikasikan. Siapa yang memaksakannya? Tentu bos-bos mereka yang mendambakan siksa neraka jahanam. Wallahu ‘alam bi Ash Showwab. [S. Quthub Amrullah, S.S.]