Pasca Usainya Tahapan Pilpres Cianjur Intellectual Foundation Gelar FGD Kebangsaan
Cianjur-Komunitas Cianjur Intellectual Foundation dalam waktu dekat akan adakan FGD Kebangsaan yang bekerjasama dengan KEMKOMIMFO RI.
Dalam kegiatan ini rencananya panitia akan mengundang beberapa Narasumber dari beberapa lembaga daerah, yaitu dari Bakesbangpol Kab.Cianjur, MUI Cianjur, dan Diskominfo Cianjur, kegiatan yang akan dilaksanakan pada tanggal 19 Juli 2019 ini bertemakan "Tegakan Demokrasi Selamatkan Bangsa dari Radikalisme Serta Hoax"
Adapun latar belakang dari terselenggaranya Kegiatan Tersebut berlandaskan dari mencuatnya issue-issue populis yang beredas dimasyarakat pasca putusan MK terkait Sengketa pilpres 2019.
Lebih dari itu, munculnya narasi oposisi beserta para relawan politiknya juga melakukan upaya lain agar citra positif dan kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Jokowi tergerus sampai titik terendah. Rakyat dibuat tidak percaya dan membenci pribadi Jokowi dan pemerintahannya pasca selesainya tahapan pemilu.
Namun demikian para pihak berkepentingan tetap menggiring arus masyarakat melalui, pihak oposisi bersama relawan politiknya gencar membuat narasi-narasi negatif tentang pribadi Jokowi dan pemerintahannya. Mereka ciptakan kebohongan demi kebohongan berupa isu-isu atau pernyataan tidak didasarkan data valid.
Mereka menyebarkan beragam informasi hoaks, kebencian dan fitnah melalui berbagai media, terutama media sosial (medsos) seperti facebook, WA, instagram, you tube, blog, dan lain sebagainya dengan maksud mencuci otak rakyat. Rakyat dibuat percaya kebohongan itu, heboh, resah dan saling curiga antar elemen masyarakat.
Fenomena ini yang kini dikenal dengan istilah strategi Firehose of Falsehood atau strategi "Propaganda Rusia".
Pihak oposisi sangat paham, hampir sebagian besar masyarakat memiliki gawai (smartphone) dan menjadi penggiat media sosial. Dengan gawai itu narasi negatif atau informasi hoaks bisa langsung sampai pada setiap individu pemegang smartphone tersebut.
Media sosial yang tadinya merupakan ruang interaksi dan silaturahmi antar individu dan komunitas berubah menjadi ruang dokrin, penyebaran kebencian, narasi negatif serta tempat "perkelahian" antar warga. Media sosial menjadi tempat persemaian bibit perpecahan rakyat dalam berbangsa dan bernegara.
Suka atau tidak suka, begitulah realitas politik terkini di negeri ini. Lalu, akan bermuara kemana kehidupan rakyat bila perseteruan politik seperti itu terus belanjut? Bagaimana cara memulihkannya?
Fungsi oposisi sejatinya sebagai penyeimbang demokrasi. Dalam operasionalnya, oposisi memberikan kritik solutif atau masukan kepada pemerintahan yang berkuasa.
Namun seringkali yang terlihat di ruang publik, oposisi menciptakan kebohongan untuk mempengaruhi rakyat agar tidak mempercayai pemerintahan yang sedang berkuasa. Mereka bertindak seperti preman politik yang tak perduli efek jangka panjang yang bakal timbul.
Harapannya, rakyat akan mengalihkan kepercayaan dari pemerintahan Jokowi kepada oposisi tersebut untuk jadi pemimpin negeri ini.
Persoalan besar sekarang bukan lagi pada penjatuhan kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Jokowi, melainkan rusaknya tradisi kebersamaan dan saling memahami antar pribadi dan elemen masyarakat yang sudah lama terbentuk di dalam kehidupan masyarakat.
Kerusakan itu sangat berat. Ibarat tubuh, yang rusak adalah bagian dalam. Butuh waktu lama untuk penyembuhan.
Siapa pun pemimpin yang terpilih tidak bisa langsung memulihkan kerusakan itu seperti sediakala. Persoalannya adalah entitas elit politik dengan rakyat awam sangat berbeda, baik dalam dinamika, maupun daya resiliensi (resilience).
Resiliensi Masyarakat dan Peran Pemenang Pilpres
Entitas elit politik--atas nama politik itu cair dan berdasarkan kepentingan kelompok--bisa kembali berteman dengan lawan politiknya usai pertarungan. Mereka bisa dengan mudah lompat pagar dan bersatu dalam satu kubu walau tadinya berbeda kubu secara ekstrim.
Sementara entitas rakyat awam terjadi sebaliknya. Unsur SARA yang sensitif--khususnya politisasi agama, dan proses cuci otak dari masifnya semburan kebohongan dan fitnah yang digunakan pihak oposisi bersama para relawan politiknya sebagai alat perang politik telah menjadikan luka dan dendam kolektif. Kerusakannya sangat dalam dan tak mudah sembuh.
Disisi lain--secara teoritis--tanpa gangguan dari luar, setiap ekosistem mempunyai kekenyalan, daya pulih untuk mengatur kembali dan memperbaharui dirinya sendiri tanpa kehilangan fungsi maupun keanekaragamannya. Proses ini disebut resiliensi.
Kehidupan rakyat awam sebagai "sebuah ekosistem" sosial-budaya-ekonomi memiliki satu kesatuan resiliensi, yang diharapkan bisa tetap hidup, tak kehilangan daya sembuhnya secara alami, walau butuh waktu yang sulit diprediksi.
Proses alami, kompetisi dan suksesi dalam komunitas "species" yang berbeda-beda dalam masyarakat membentuk dasar bagi resiliensi.
Dalam pengelolaannya masyarakat dan pemerintah yang kelak berkuasa harus menjaga agar gangguan-gangguan yang terjadi tetap dalam ambang batas tertentu agar fondasi berbangsa dan bernegara yang solid dan dulu pernah ada tidak hancur/hilang.
Ketika resiliensi terganggu, ekosistem sosial budaya akan berusaha mempertahankan kemampuan untuk mengaturnya kembali dan memperbaharui dirinya sendiri tanpa kehilangan fungsi dasar/awal maupun keanekaragaman nya.
Resiliensi berasal dari komunitas-komunitas dalam masyarakat luas, tetapi juga tergantung kepada perubahan dan perlakuan institusi yang mengelola masyarakat itu sendiri.
Seperti yang telah disinggung diatas efek domino dari propaganda kubu oposisi yang dibangun sejak sebelum dimulainya Pemilu 2019 sampai berakhir dimahmakah konstitusi menjadi kepentingan bersama semua elemen dan semua pihak untuk menetralisir kembali issue-issue yang telah dibangun diatas agar mampu mensterilkan penomena tersebut tentu dengan topangan pemerintah melalui lembaga terkait.
Ditemui disela-sela kesibukannya Ketua CIF Fardan Abdul Basith Menyampaikan bahwa "Pemerintah harus mengadakan agenda resiliensi masyarakat dan membentuk institusi-instistusi formal dan dan nonformal yang langsung menyentuh aneka komunitas dalam masyarakat yang sedang dalam resiliensi tersebut. Karena kalau tidak, maka dendam dan luka politik yang merusak bagian tubuh sosial budaya masyarakat dan bangsa Indonesia akan terus memakan organ lain yang masih bertahan. Sampai saatnya semua tidak akan berfungsi lagi. Dan nama Indonesia hanya akan jadi bagian sejarah dunia yang dulu pernah ada."
Disisi lain, sebagian pemahaman masyarakat hingga saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa sistem politik itu bukan urusan mereka melainkan urusan pemerintah, sehingga masyarakat masih ada yang didoktrin secara politis atau diberikan janji–janji manis, percaya issu populis yang notabene mengandung hoaks hingga berbuah utopis secara pemikiran terhadap penyelenggara negara (pemerintah/ pejabat negara), sehingga patut dipandang perlu memberikan pendidikan politik kepada masyarakat oleh beberapa elemen politik negara (lembaga masyarakat/hukum/akademisi bahkan aparat negara), sehingga diharapkan dapat mendewasakan pola/sikap politik masyarakat dalam mencerna berita-berita politik dan issu yang berkembang di media-media elektronik/sosial saat ini. Sebab dengan demikianlah sebuah bangsa bisa dikatakan bangsa yang maju saat warga negara mampu melihat situaasi politik dengan objektiv/ kritis tanpa liberalitatian/ melainkan produktif, ikut serta membangun bangsa ini.
Maka kami dari Cianjur Intellectual Foundation bermaksud untuk melaksanakan kegiatan yaitu sebagai berikut. Semoga acara berjalan lancar.
Dalam kegiatan ini rencananya panitia akan mengundang beberapa Narasumber dari beberapa lembaga daerah, yaitu dari Bakesbangpol Kab.Cianjur, MUI Cianjur, dan Diskominfo Cianjur, kegiatan yang akan dilaksanakan pada tanggal 19 Juli 2019 ini bertemakan "Tegakan Demokrasi Selamatkan Bangsa dari Radikalisme Serta Hoax"
Adapun latar belakang dari terselenggaranya Kegiatan Tersebut berlandaskan dari mencuatnya issue-issue populis yang beredas dimasyarakat pasca putusan MK terkait Sengketa pilpres 2019.
Lebih dari itu, munculnya narasi oposisi beserta para relawan politiknya juga melakukan upaya lain agar citra positif dan kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Jokowi tergerus sampai titik terendah. Rakyat dibuat tidak percaya dan membenci pribadi Jokowi dan pemerintahannya pasca selesainya tahapan pemilu.
Namun demikian para pihak berkepentingan tetap menggiring arus masyarakat melalui, pihak oposisi bersama relawan politiknya gencar membuat narasi-narasi negatif tentang pribadi Jokowi dan pemerintahannya. Mereka ciptakan kebohongan demi kebohongan berupa isu-isu atau pernyataan tidak didasarkan data valid.
Mereka menyebarkan beragam informasi hoaks, kebencian dan fitnah melalui berbagai media, terutama media sosial (medsos) seperti facebook, WA, instagram, you tube, blog, dan lain sebagainya dengan maksud mencuci otak rakyat. Rakyat dibuat percaya kebohongan itu, heboh, resah dan saling curiga antar elemen masyarakat.
Fenomena ini yang kini dikenal dengan istilah strategi Firehose of Falsehood atau strategi "Propaganda Rusia".
Pihak oposisi sangat paham, hampir sebagian besar masyarakat memiliki gawai (smartphone) dan menjadi penggiat media sosial. Dengan gawai itu narasi negatif atau informasi hoaks bisa langsung sampai pada setiap individu pemegang smartphone tersebut.
Media sosial yang tadinya merupakan ruang interaksi dan silaturahmi antar individu dan komunitas berubah menjadi ruang dokrin, penyebaran kebencian, narasi negatif serta tempat "perkelahian" antar warga. Media sosial menjadi tempat persemaian bibit perpecahan rakyat dalam berbangsa dan bernegara.
Suka atau tidak suka, begitulah realitas politik terkini di negeri ini. Lalu, akan bermuara kemana kehidupan rakyat bila perseteruan politik seperti itu terus belanjut? Bagaimana cara memulihkannya?
Fungsi oposisi sejatinya sebagai penyeimbang demokrasi. Dalam operasionalnya, oposisi memberikan kritik solutif atau masukan kepada pemerintahan yang berkuasa.
Namun seringkali yang terlihat di ruang publik, oposisi menciptakan kebohongan untuk mempengaruhi rakyat agar tidak mempercayai pemerintahan yang sedang berkuasa. Mereka bertindak seperti preman politik yang tak perduli efek jangka panjang yang bakal timbul.
Harapannya, rakyat akan mengalihkan kepercayaan dari pemerintahan Jokowi kepada oposisi tersebut untuk jadi pemimpin negeri ini.
Persoalan besar sekarang bukan lagi pada penjatuhan kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Jokowi, melainkan rusaknya tradisi kebersamaan dan saling memahami antar pribadi dan elemen masyarakat yang sudah lama terbentuk di dalam kehidupan masyarakat.
Kerusakan itu sangat berat. Ibarat tubuh, yang rusak adalah bagian dalam. Butuh waktu lama untuk penyembuhan.
Siapa pun pemimpin yang terpilih tidak bisa langsung memulihkan kerusakan itu seperti sediakala. Persoalannya adalah entitas elit politik dengan rakyat awam sangat berbeda, baik dalam dinamika, maupun daya resiliensi (resilience).
Resiliensi Masyarakat dan Peran Pemenang Pilpres
Entitas elit politik--atas nama politik itu cair dan berdasarkan kepentingan kelompok--bisa kembali berteman dengan lawan politiknya usai pertarungan. Mereka bisa dengan mudah lompat pagar dan bersatu dalam satu kubu walau tadinya berbeda kubu secara ekstrim.
Sementara entitas rakyat awam terjadi sebaliknya. Unsur SARA yang sensitif--khususnya politisasi agama, dan proses cuci otak dari masifnya semburan kebohongan dan fitnah yang digunakan pihak oposisi bersama para relawan politiknya sebagai alat perang politik telah menjadikan luka dan dendam kolektif. Kerusakannya sangat dalam dan tak mudah sembuh.
Disisi lain--secara teoritis--tanpa gangguan dari luar, setiap ekosistem mempunyai kekenyalan, daya pulih untuk mengatur kembali dan memperbaharui dirinya sendiri tanpa kehilangan fungsi maupun keanekaragamannya. Proses ini disebut resiliensi.
Kehidupan rakyat awam sebagai "sebuah ekosistem" sosial-budaya-ekonomi memiliki satu kesatuan resiliensi, yang diharapkan bisa tetap hidup, tak kehilangan daya sembuhnya secara alami, walau butuh waktu yang sulit diprediksi.
Proses alami, kompetisi dan suksesi dalam komunitas "species" yang berbeda-beda dalam masyarakat membentuk dasar bagi resiliensi.
Dalam pengelolaannya masyarakat dan pemerintah yang kelak berkuasa harus menjaga agar gangguan-gangguan yang terjadi tetap dalam ambang batas tertentu agar fondasi berbangsa dan bernegara yang solid dan dulu pernah ada tidak hancur/hilang.
Ketika resiliensi terganggu, ekosistem sosial budaya akan berusaha mempertahankan kemampuan untuk mengaturnya kembali dan memperbaharui dirinya sendiri tanpa kehilangan fungsi dasar/awal maupun keanekaragaman nya.
Resiliensi berasal dari komunitas-komunitas dalam masyarakat luas, tetapi juga tergantung kepada perubahan dan perlakuan institusi yang mengelola masyarakat itu sendiri.
Seperti yang telah disinggung diatas efek domino dari propaganda kubu oposisi yang dibangun sejak sebelum dimulainya Pemilu 2019 sampai berakhir dimahmakah konstitusi menjadi kepentingan bersama semua elemen dan semua pihak untuk menetralisir kembali issue-issue yang telah dibangun diatas agar mampu mensterilkan penomena tersebut tentu dengan topangan pemerintah melalui lembaga terkait.
Ditemui disela-sela kesibukannya Ketua CIF Fardan Abdul Basith Menyampaikan bahwa "Pemerintah harus mengadakan agenda resiliensi masyarakat dan membentuk institusi-instistusi formal dan dan nonformal yang langsung menyentuh aneka komunitas dalam masyarakat yang sedang dalam resiliensi tersebut. Karena kalau tidak, maka dendam dan luka politik yang merusak bagian tubuh sosial budaya masyarakat dan bangsa Indonesia akan terus memakan organ lain yang masih bertahan. Sampai saatnya semua tidak akan berfungsi lagi. Dan nama Indonesia hanya akan jadi bagian sejarah dunia yang dulu pernah ada."
Disisi lain, sebagian pemahaman masyarakat hingga saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa sistem politik itu bukan urusan mereka melainkan urusan pemerintah, sehingga masyarakat masih ada yang didoktrin secara politis atau diberikan janji–janji manis, percaya issu populis yang notabene mengandung hoaks hingga berbuah utopis secara pemikiran terhadap penyelenggara negara (pemerintah/ pejabat negara), sehingga patut dipandang perlu memberikan pendidikan politik kepada masyarakat oleh beberapa elemen politik negara (lembaga masyarakat/hukum/akademisi bahkan aparat negara), sehingga diharapkan dapat mendewasakan pola/sikap politik masyarakat dalam mencerna berita-berita politik dan issu yang berkembang di media-media elektronik/sosial saat ini. Sebab dengan demikianlah sebuah bangsa bisa dikatakan bangsa yang maju saat warga negara mampu melihat situaasi politik dengan objektiv/ kritis tanpa liberalitatian/ melainkan produktif, ikut serta membangun bangsa ini.
Maka kami dari Cianjur Intellectual Foundation bermaksud untuk melaksanakan kegiatan yaitu sebagai berikut. Semoga acara berjalan lancar.