Kebijakan Sistem Zonasi Yang Memunculkan Polemik

Education Focus Study
Menelisik Sinergitas Sistem Zonasi Sekoah di Cianjur. Epektif atau tidak?

Oleh: Fardan Abdul Basith

Musim penerimaan peserta didik baru telah dimulai sejak beberapa minggu yang lalu. Orang tua calon peserta didik berbondong-bondong mendaftarkan anaknya ke sekolah-sekolah untuk melanjutkan pendidikan sebagaimana amanat pemerintah bahwa orangtua menjadi salah satu partner utama dalam mendukung kebutuhan pendidikan anak di usia wajib belajarnya. Pendidikan merupakan investasi bagi anak di masa depan terutama bagi masyarakat golongan menengah ke bawah untuk memutus rantai kemiskinan.

Selain semaraknya isu sistem zonasi di nasional Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Ahmad Su'adi mengapresiasi pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi secara penuh.
"Sistem yang diberlakukan berdasarkan Permendikbud No. 51 Tahun 2018 tersebut sangat positif. Yakni, bertujuan memberikan pemerataan akses pendidikan," Su'adi dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Di Balik Kebijakan Zonasi", yang diinisiasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Jakarta, Senin (1/7/2019). Dilansir dari media TribunNews.Com
Pendidikan yang bermutu merupakan dambaan sekaligus faktor utama bagi orangtua dalam memilih sekolah tempat anak-anaknya menimba ilmu. Dari waktu ke waktu pemerintah selalu berupaya untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pendidikan yang diselenggarakan di setiap sekolah-sekolah baik sekolah swasta, maupun sekolah negeri. Hal ini dilakukan dengan harapan agar setiap peserta didik mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan bermutu.
Secara entitas, penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah masih banyak menyimpan bahan evaluasi dalam penyelenggaraan pendidikan kedepan. Fenomena sekolah unggulan-non unggulan salah satunya. Dalam beberapa tahun terakhir isu ini merupakan hal yang marak terjadi sehingga terjadi banyak ketimpangan khususnya di sekolah-sekolah negeri, dimana masyarakat yang termasuk golongan menengah ke bawah tidak mendapatkan akses pendidikan sesuai dengan kemampuannya karena faktor ekonomi. Akibatnya, mau tidak mau sekolah negeri merupakan salah satu alternatif dengan alasan bahwa di sekolah negeri biaya pendidikan lebih terjangkau dan beberapa program pemerintah di bidang pendidikan banyak yang diperuntukkan bagi siswa-siswi yang bersekolah di sekolah-sekolah negeri.
Sementara di lain pihak banyak yang mengeluhkan soal sistem zonasi yang kemudian menginginkan kembali kepada sistem prestasi bagi penerimaan siswa siswi peserta didik baru, sebut saja dicianjur misalnya kenapa demikian sistem zonasi kurang epektip dijalankan selain merupakan kabupaten yang secara indeks pendidikannya belum maksimal, masih banyak pula sekolah yang kekurangan murid atau peserta didik, disamping itu banyaknya sekolah yang masih tenaga pengajar yang berkualitas menyebabkan kurang progresif-nya kualitas akademik disekolah-sekolah yang ada dikabupaten cianjur, selain itu penomena yang timpang tindih antara kebijaan pemerintah dengan sekolah swasta mengakibatkan keluh kesah bagi pihak tertentu, memang disisi lain sekolah swasta tidak terseok-seok merasa kalang kabut mencari siswa atau memasarkan sekolahnya, karena dengan adanya sistem tersebut sautnya pihak sekolah swasta merasa diuntungkan. Apalagi dengan diformulasikannya kurikulum terpadu sekolah seperti halnya sekoah yang ada dibawah naungan yayasan atau pesantren, ini cukup membuat untung bagi pihaknya karena tak kena getah sistem zonasi tersebut. 
Sejak tahun 2017, pemerintah memberlakukan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah negeri. Setiap orangtua hanya dapat mendaftarkan anak-anaknya di sekolah-sekolah terdekat, adapun untuk mendaftar di luar lingkungan tersebut orangtua calon siswa-siswi hanya mendapatkan kesempatan sebanyak 10% dari total pendaftar. Melalui sistem zonasi, diharapkan di setiap daerah bisa mendapatkan hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan sekaligus menghapus stigma negatif akan adanya sekolah unggulan-non unggulan.
Penyelengaraan sistem zonasi dalam PPDB dari tahun 2017-2019 menuai berbagai problema, dimana dengan adanya sistem ini terjadi pembeludakan calon siswa-siswi di kawasan padat penduduk dengan kemampuan daya tamping sekolah yang berbanding terbalik dengan banyaknya pendaftar. Sebaliknya, untuk kawasan lain terjadi kekurangan peserta didik meski kemampuan daya tamping sekolah sangat memadai, selain itu untuk daerah 3T (Terdepan, Terpencil, Terisolasi) mengalami problema tersendiri yang diakibatkan oleh sistem zonasi karena masih minimnya lembaga penyedia pendidikan.
Titik utama pembahasan kebijakan sistem zonasi yang dikeluarkan oleh pemerintah melaui Kementrian P&K (Pendidikan dan Kebudayaan) adalah tujuan yang hendak dicapai akan terselengarakannya pemerataan dan peningkatan pendidikan yang berkualitas sehingga setiap peserta didik mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan, mendapatkan pendidikan yang berkualitas, serta menghapuskan stigma negatif adanya sekolah unggulan dan non unggulan. Namun, dalam penyelenggaraannya pemerintah baru memangkas problematika akan kesempatan belajar yang sama di setiap daerah itupun masih menuai pro kontra karena adanya pembeludakan dan kekurangan peserta didik seperti yang telah dijelaskan diatas. Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, tenaga pendidik yang tersedia harus dipersiapkan sehingga memiliki kompetensi yang memadai serta tersebar secara merata di setiap daerah.
Awal munculnya fenomena sekolah unggulan-non unggulan yang terjadi di masyarakat diakibatkan oleh persebaran tenaga pendidik dengan kualitas baik pada beberapa sekolah tertentu. Sehingga, penyelenggaraan pendidikan sekolah maupun kegiatan belajar mengajar berjalan dengan sangat baik sekaligus menjadi salah satu faktor penunjang dalam menciptakan prestasi dan lulusan-lulusan terbaik. Orangtua tentu ingin yang terbaik untuk anak-anaknya, sehingga mereka sangat selektif dalam memilih sekolah.
Masalah ini kian membesar ketika terjadi penumpukan pendaftar di sekolah yang telah mendapatkan predikat “favorit”, segala macam cara dilakukan agar anaknya dapat bersekolah di sana. Fenomena ini menjadi kritik otokritik bagi pemerintah, tenaga pendidik, maupun bagi mahasiswa khususnya calon tenaga kependidikan bahwa untuk menciptakan generasi emas di tahun-tahun mendatang bukan hanya saja pemerataan pendidikan saja, akan tetapi kualitas tenaga pendidik yang ada juga harus ditingkatkan agar semua peserta didik disamping mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah juga sekaligus mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan kualitas pendidikan sebagai bekal untuk mengarungi luasnya samudera kehidupan kelak.
Kualitas tenaga pendidik sangat berpengaruh terhadap jalannya penyelenggaraan pendidikan. Mereka menjadi salah satu pemeran utama dalam mencetak peserta didik agar menjadi insan berkualitas. Oleh karena itu, peningkatan kualitas serta persebaran tenaga pendidik yang merata patut menjadi sorotan bagi pemerintah pada waktu mendatang.
Penulis merupakan mahasiswa ascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Smester Akhir.

Pendidik progresif akan menghasilkan kualitas pendidikan yang menciptakan peserta didik dapat berinteraksi dengan dunia, sedangkan pendidik konservatif akan menciptakan peserta didik yang hanya beradaptasi dengan dunia, tidak melakukan interaksi sehingga tidak tercipta inovasi. (Paulo Freire, The pedagogy como practica da liberdade : 1964)