Di Bawah Rezim
Target Produksi
SB,Cianjur—Sesudah dua tahun menganggur, pada usia 21 tahun Joni—bukan nama sebenarnya— mengakhiri masa luntang-lantung dan Joni menyodorkan dirinya ke pasar tenaga kerja. Keluarga sebenarnya tak terlalu mendesaknya untuk mencari kerja segera. Tetapi, sebagai pemuda yang beranjak dewasa Joni cukup tahu diri untuk bertanggungjawab atas hidupnya sendiri. Tahun lalu dia mencoba peruntungan, dengan mendatangi sebuah job fair yang diadakan di kota asalnya, Cianjur.
Tiga bulan berselang, Agustus 2018, secarik surat panggilan kerja menyasar alamat rumahnya. Sesudah serangkaian pelatihan, Joni menjalani masa percobaan kerja selama tiga bulan.
Dibandingkan banyak pencari kerja, Joni mungkin terhitung beruntung. Seusai masa percobaaan kerja, setidaknya perusahaan mengangkatnya sebagai buruh tetap. Dengan tingkat upah yang sekedar memenuhi ketentuan upah minimum kabupaten Cianjur: Rp. 2.336.004,97,- per bulan.
Perusahaan tempat Joni bekerja, beroperasi di Cianjur sejak sekitar 2015, memiliki sepuluh unit pabrik tempat memproduksi sepatu olahraga merek Nike. Di pabrik-pabrik itulah komponen sepatu (mid sole, out-sole, upper sole) dibuat dan dirangkai menjadi sepatu utuh, untuk diekspor antara lain ke Amerika Serikat. Tugas Joni sehari-hari adalah merekatkan bagian alas dengan bagian atas sepatu, menggunakan sejenis mesin perekat.
Perusahaan memberlakukan sistem kerja tiga gilir (shift). Rinciannya: shift pertama dari pukul 07.00-15.00, shift kedua dari pukul 15.00-21.00, dan shift ketiga dari pukul 21.00-05.00. Di luar waktu kerja delapan jam tersebut, ketika permintaan produksi melonjak, perusahaan mensyaratkan buruhnya untuk kerja lembur dua hingga tiga jam. Untuk setiap jam lembur, buruh diupah sebesar Rp 13.500,-. Sederhananya, untuk menggenjot produksi barang dan memaksimalkan kapasitas mesin produksi, daripada membiarkan buruh pulang ke rumah, pabrik lebih suka mengerahkan buruh untuk kerja lembur.
Hitung punya hitung, waktu yang dicurahkan Joni untuk bekerja bisa mencapai 56 jam per minggu. Resminya, waktu kerja adalah delapan jam per hari, sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Kenyataannya, pasal tentang jam kerja ibarat macan ompong. Pabrik menetapkan target produksi 250-300 pasang sepatu per jam, agar pabrik dapat menghasilkan 3000 pasang sepatu per hari. Untuk memenuhi target produksi, Joni dan teman-temannya terpaksa bekerja lebih dari 40 jam seminggu.
Bagaimana rasanya menjalani jam kerja sepanjang itu? “Iya, saya suka curi-curi waktu buat kencing atau ngerokok. Jenuh banget soalnya duduk berjam-jam,” ucap Joni.
Masih ada masalah lain. Saking minimnya jumlah toilet, buruh terpaksa menyia-nyiakan waktu istirahatnya yang berharga untuk berlama-lama antri. Padahal, selepas istirahat mereka harus segera kembali bekerja mengejar target produksi harian. Fasilitas mushola pun demikian. Daya tampungnya kecil. Sehingga buruh harus pandai-pandai menggunakan waktu istirahat untuk menunaikan shalat, makan, dan melepas lelah.
Bagi Joni, ruang hidup terasa semakin menyempit sesudah pabrik menerapkan teknologi C-TPAT. Itu singkatan dari Customs-Trade Partnership Against Terorism. Kabarnya, C-TPAT merupakan inisiatif pemerintah dan swasta untuk meningkatkan keamanan di seluruh rantai pasok industri alas kaki. Runyamnya, sistem ini juga memantau aktivitas buruh di media sosialnya. Bagi Joni, teknologi C-TPAT membatasi keleluasaan gerak dan mengekang privasi buruh. Joni lalu menceritakan pengalaman seorang temannya, yang kedapatan berswafoto (selfie) di kamar loker, lalu ditegur pengawas dan dilarang keras mengunggah foto tersebut di media sosial.
Joni bekerja enam hari dalam seminggu. Kerja sehari penuh dari Senin sampai Jumat, dan setengah hari pada Sabtu. Jadwal rutinnya adalah: bangun jam 05.00 pagi, mandi, sarapan, dan memanaskan mesin sepeda motor. Dia membutuhkan setengah jam perjalanan lagi untuk tiba di depan gerbang pabrik. Rutinitas harian dan jam kerja panjang membuat tubuhnya penat. Hampir tidak ada waktu tersisa untuk keluarga, untuk bergaul dengan tetangga dan teman-teman lama. Kerap dia salah tingkah sewaktu ditegur tetangga karena jarang terlihat apalagi bertegur sapa.
Ditemui pada suatu akhir minggu, Sabtu, 30 Maret 2019, Joni sedang menyempatkan singgah di sebuah kedai. Seorang temannya memulai usaha, membuka kedai. Hanya pada akhir minggu seperti itulah dia bisa sedikit bersantai. “Saya udah gak punya banyak waktu luang sekarang mah, gitu aja kerja terus.”
Reporter: unknow