Education Focus Study;

Mengungkap Relasi Kuasa dalam pusaran Ilmu Pengetahuan di Komuditas Pendidikan "Analisis Metode Pengajaran Gaya Bank Faulo Praire"
Oleh: Fardan Abdul basith S.Pd

Dalam magnum opus-nya, Manusia Satu Dimensi, Herbert Marcuse menggambarkan peradaban kapitalisme industri maju sebagai entitas masyarakat yang telah tergerus nalar kritisnya. Hal ini dapat dilihat dari manusia nya yang terperangkap dalam kesadaran palsu (false consciousness), dengan memandang status quo dan masalah-masalah yang hadir di sekitar mereka sebagai sesuatu yang natural dan sebagaimana mestinya. Sedang, mereka tak menyadari kondisi yang tercipta adalah hasil dari mekanisme kuasa kapitalisme.
Dengan berjibun nya mata pelajaran resmi yang diberlakukan di Indonesia hari ini, para peserta didik telah dipaksa untuk menyantap ilmu pengetahuan di buku resmi pendidikan seakan sebagai barang jadi yang siap dikonsumsi. Mereka diarahkan untuk terpaku pada teks buku secara penuh seksama hanya untuk mencerna beragam materi, formula, dan pernyataan para ahli yang tersaji. Di sisi lain, peserta didik tidak diberi ruang untuk mengekspresikan gagasan yang dipikirkannya, ataupun untuk membenturkannya dengan kondisi realitas yang terjadi. Imbasnya, sudah barang tentu paradigma peserta didik akan terbangun konformistis dan tekstual.
Dalam pandangan Paulo Freirre, pendidikan Gaya Bank adalah ciri pola pembelajaran yang akan mengerdilkan fakultas kritis peserta didik. Ciri metode pembelajaran ini ialah relasi yang terbangun antara murid dan guru ialah objek dan subjek. Guru ataupun pengajar diandaikan sebagai subjek serba tahu yang dapat dapat menggunakan otoritas ilmu pengetahuan nya untuk mengonstruski peserta didik. Sedangkan, peserta didik diibaratkan sebagai gelas kosong yang dapat diisi dengan sewenang-wenang oleh pendidik.
Peristiwa ini dapat kita saksikan di semua jenjang pendidikan hari ini. Masih terdapat banyak guru ataupun pengajar yang bersikeras melakukan metode ceramah maupun dikte di kelasnya. Di sisi lain, murid tidak diberi ruang yang cukup untuk mengajukan ketidaksetujuannya pada argumentasi guru. Ataupun, dalam kasus lain, masih terdapat guru yang tidak dapat menerima kritik maupun sanggahan dari peserta didiknya. Dengan embel-embel menuduh tidak beretika, dan melawan guru di kelas. Pola pembelajaran yang masih ramai dipergunakan ini tentu tidak lagi efektif. Selain mengerdilkan fakultas kritis, juga akan menimbulkan citra diri yang buruk pada diri peserta didik.
Selain permasalahan pola dan metode pembelajaran yang tidak memfasilitasi perkembangan nalar kritis, serangkaian hasutan guru atau pendidik pada peserta didik pun marak dilakukan di institusi pendidikan. Hari ini, khususnya di perguruan tinggi, tentu tidak jarang guru turut berkontribusi membangun pola pikir pragmatis dengan hasutan menyuruh fokus kuliah, lulus dengan IP (Indeks Prestasi) besar, lalu dapat kerja jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang sebenarnya meski gaji terjamin, bermental ketergantungan pada negara. Kita dicekoki citra bahwa menyikapi isu kampus melalui demonstrasi adalah hal yang buruk dan tidak berpendidikan, atau melalui ancaman nilai dan Drop Out (DO). Padahal, pada hakikatnya demo adalah salah satu sarana untuk menyuarakan aspirasi apabila serangkaian dialog masih saja menemui jalan buntu. Dengan propaganda paranoid seperti di atas, bagaimana mungkin nalar kritis kita akan terbangun untuk menyuarakan aspirasi kita?
Tesis Marcuse, Herbert. 2016. Manusia Satu-Dimensi. dan Faulo Fraire dalam Pendidikan Kaum Tertindas"
Lalu apakah kita akan diam saja sampai detik ini tidak berusaha menciptakan perubahan terhadap realitas yang makin bebal.!!