Aktualisasi Aswaja dalam PMII.
Aktualisasi materi Ahlussunnah wal Jamaah adalah menjadikan materi Ahlussunnah wal Jamaah secara normatif dapat menjadi referensi aktual bagi kehidupan sehari-hari, sehingga ia juga bisa menyesuaikan diri dengan semua bentuk perubahan dan perkembangan yang diakibatkan oleh modernitas peradaban di segala bidang.
Apa yang dimaksud dengan materi Ahlussunnah wal Jamaah adalah hasil rumusan (produk pemikiran) yang telah dibakukan sebagai paham Ahlussunnah wal Jamaah yang meliputi tiga aspek; akidah, syariah dan akhlak. Materi dari tiga aspek itu banyak yang perlu diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari. Indikator paling nyata dari urgensi aktualisasi ini dapat dilihat dari urgensinya pemahaman kitab kuning secara kontekstual.
Kontekstualisasi seperti ini telah menjadi keputusan ulama pondok pesantren secara nasional mengawali pembukaan kegiatan Muktamar Wathani Rabithatul Maahidil Islamiyah (RMI) di Watucongol Muntilan Jawa Tengah tahun 1989. Dari penjabaran tentang kontekstualisasi ini, dapat dipahami bahwa dari banyak rumusan yang berupa aqwâl (pendapat/produk paham) paham Ahlussunnah wal Jamaah, khususnya di bidang syariah atau fikih, ada beberapa aqwâl yang tidak relevan dikembangkan atau karena tidak mungkin dikontekstualisasikan dengan problem kekinian, sehingga tidak perlu dipelajari, tetapi sekedar penghargaan atau tabarrukan.
Secara terinci materi-materi itu, meskipun dalam uraian global, akan diuraikan satu persatu dari tiga aspek paham Ahlussunnah wal Jamaah yang ada.
Apa yang dimaksud dengan materi Ahlussunnah wal Jamaah adalah hasil rumusan (produk pemikiran) yang telah dibakukan sebagai paham Ahlussunnah wal Jamaah yang meliputi tiga aspek; akidah, syariah dan akhlak. Materi dari tiga aspek itu banyak yang perlu diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari. Indikator paling nyata dari urgensi aktualisasi ini dapat dilihat dari urgensinya pemahaman kitab kuning secara kontekstual.
Kontekstualisasi seperti ini telah menjadi keputusan ulama pondok pesantren secara nasional mengawali pembukaan kegiatan Muktamar Wathani Rabithatul Maahidil Islamiyah (RMI) di Watucongol Muntilan Jawa Tengah tahun 1989. Dari penjabaran tentang kontekstualisasi ini, dapat dipahami bahwa dari banyak rumusan yang berupa aqwâl (pendapat/produk paham) paham Ahlussunnah wal Jamaah, khususnya di bidang syariah atau fikih, ada beberapa aqwâl yang tidak relevan dikembangkan atau karena tidak mungkin dikontekstualisasikan dengan problem kekinian, sehingga tidak perlu dipelajari, tetapi sekedar penghargaan atau tabarrukan.
Secara terinci materi-materi itu, meskipun dalam uraian global, akan diuraikan satu persatu dari tiga aspek paham Ahlussunnah wal Jamaah yang ada.
a) Materi Akidah
Materi akidah dalam paham Ahlussunnah wal Jamaah yang berkembang dan dipelajari selama ini, terutama di pondok pesantren untuk tingkat dasar, tidak dapat dikatakan mewakili sepenuhnya akidah paham Ahlussunnah wal Jamaah. Materi yang dipelajari, selain tidak luas, juga menunjukkan hal yang terlalu dasar dengan pemahaman yang sempit. Akibatnya, studi akidah, umumnya dalam bentuk tauhid, cenderung tidak menarik minat para pelajar untuk memahaminya secara mendalam.
Materi akidah dalam paham Ahlussunnah wal Jamaah yang berkembang dan dipelajari selama ini, terutama di pondok pesantren untuk tingkat dasar, tidak dapat dikatakan mewakili sepenuhnya akidah paham Ahlussunnah wal Jamaah. Materi yang dipelajari, selain tidak luas, juga menunjukkan hal yang terlalu dasar dengan pemahaman yang sempit. Akibatnya, studi akidah, umumnya dalam bentuk tauhid, cenderung tidak menarik minat para pelajar untuk memahaminya secara mendalam.
Kekurangan yang sangat dirasakan adalah berkaitan dengan metode mentransformasikan materi-materi akidah itu yang ternyata tidak didukung oleh teks-teks kitab mutabar yang memadai. Hal itu tentu sangat tidak menguntungkan bagi studi akidah sebagai ilmu ushul yang mebicarakan dasar-dasar agama. Sebuah pohon akan mudah tumbang apabila tidak memiliki akar yang kuat. Keyakinan Islam seseorang juga akan rapuh dan mudah terpedaya kalau tidak dilandasi oleh akar keyakinan akidah yang kuat. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat muslim yang menjadi korban isme-isme baru yang bertentangan dengan akidah Islam. Isme-isme itu dapat berupa paham materialisme, kapitalisme, sekularisme, hedonisme, dan lain-lain yang dapat menggeser nilai-nilai akidah, karena kurang berakar dengan kuat dan tidak memiliki dukungan pengetahuan secara baik.
Alternatif solusinya antara lain :
a. Mengembangkan pemahaman sistem akidah dari berbagai mazhab dalam Islam secara baik dengan metode perbandingan, yakni dengan studi Kalam Muqaran.
b. Mengembangkan pemahaman materi-materi akidah Ahlussunnah wal Jamaah secara menyeluruh, yakni tidak hanya akidah Asyari atau Asyariyah saja, tetapi juga Maturidiyah, dengan keberanian memadukan antara kedua paham akidah ini dan mengambil materi yang lebih rasional representatif dari kedua paham akidah itu.
c. Kesanggupan membumikan term-term akidah menjadi partisipatif dengan kehidupan nyata. Misalnya, pemahaman tentang rahmân Tuhan, tidak hanya sekedar dihafal sebagai salah satu sifat Tuhan, tetapi bagaimana sifat Tuhan yang luhur itu dapat menyinari dan mengejawantah dalam kehidupan orang yang meyakini adanya rahmân Tuhan itu. Karena dalam diri manusia, di samping ada unsur nasût (kemanusiaan) juga ada unsur lahût (ketuhanan).
d. Ada keberanian merumuskan kembali secara materiil paham akidah Ahlussunnah wal Jamaah secara komprehensif dan kontekstual, dan untuk itu, ilmu ushul kalam perlu dikembangkan.
a. Mengembangkan pemahaman sistem akidah dari berbagai mazhab dalam Islam secara baik dengan metode perbandingan, yakni dengan studi Kalam Muqaran.
b. Mengembangkan pemahaman materi-materi akidah Ahlussunnah wal Jamaah secara menyeluruh, yakni tidak hanya akidah Asyari atau Asyariyah saja, tetapi juga Maturidiyah, dengan keberanian memadukan antara kedua paham akidah ini dan mengambil materi yang lebih rasional representatif dari kedua paham akidah itu.
c. Kesanggupan membumikan term-term akidah menjadi partisipatif dengan kehidupan nyata. Misalnya, pemahaman tentang rahmân Tuhan, tidak hanya sekedar dihafal sebagai salah satu sifat Tuhan, tetapi bagaimana sifat Tuhan yang luhur itu dapat menyinari dan mengejawantah dalam kehidupan orang yang meyakini adanya rahmân Tuhan itu. Karena dalam diri manusia, di samping ada unsur nasût (kemanusiaan) juga ada unsur lahût (ketuhanan).
d. Ada keberanian merumuskan kembali secara materiil paham akidah Ahlussunnah wal Jamaah secara komprehensif dan kontekstual, dan untuk itu, ilmu ushul kalam perlu dikembangkan.
b) Materi Syariah atau Fikih
Secara normatif, materi syariah atau fikih yang ada sangat memadai. Meskipun demikian, dalam beberapa hal materi tersebut perlu dikontekstualisasikan dengan kehidupan nyata sehari-hari, terutama dalam hal yang berkaitan dengan aspek muâmalah (sosial-kemamusiaan). Aspek ibadah atau yang lebih tepat aspek ibadah murni, seperti thahârah (besuci), shalat, zakat, haji, dan lain-lain, secara materi tidak perlu ada aktualisasi. Tetapi aspek lain selain ibadah murni, atau aspek muâmalah perlu diaktualisasikan.
Secara normatif, materi syariah atau fikih yang ada sangat memadai. Meskipun demikian, dalam beberapa hal materi tersebut perlu dikontekstualisasikan dengan kehidupan nyata sehari-hari, terutama dalam hal yang berkaitan dengan aspek muâmalah (sosial-kemamusiaan). Aspek ibadah atau yang lebih tepat aspek ibadah murni, seperti thahârah (besuci), shalat, zakat, haji, dan lain-lain, secara materi tidak perlu ada aktualisasi. Tetapi aspek lain selain ibadah murni, atau aspek muâmalah perlu diaktualisasikan.
Aspek yang dimaksud adalah masalah yang berkaitan dengan masalah sosial-politik, ekonomi, budaya, pertahananan dan keamanan (hankam), sumber daya manusia (SDM), hak asasi manusia (HAM), dan pendidikan. Tetapi selain hal-hal itu juga masih ada persoalan berkaitan dengan aktualisasi materi yang perlu dikemukakan di sini.
Pertama, referensi empat mazhab fikih, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali, yang diakui sebagai referensi paham Ahlussunnah wal Jamaah di bidang syariah atau fikih, perlu mendapat perhatian seimbang, meskipun dalam kehidupan praktis hanya satu mazhab yang dijadikan pedoman pengamalan. Fikih muqâran ini sama halnya dengan kalam muqâran, dapat membentuk wawasan budaya ikhtilâf-rahmah secara positif, sehingga memiliki cara pandang yang responsif terhadap perkembangan modernitas dan pluralitas peradaban dan pergaulan.
Pertama, referensi empat mazhab fikih, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali, yang diakui sebagai referensi paham Ahlussunnah wal Jamaah di bidang syariah atau fikih, perlu mendapat perhatian seimbang, meskipun dalam kehidupan praktis hanya satu mazhab yang dijadikan pedoman pengamalan. Fikih muqâran ini sama halnya dengan kalam muqâran, dapat membentuk wawasan budaya ikhtilâf-rahmah secara positif, sehingga memiliki cara pandang yang responsif terhadap perkembangan modernitas dan pluralitas peradaban dan pergaulan.
Kedua, sumber utama mazhab juga perlu mendapat perhatian seimbang dengan sumber sekunder yang terdiri dari para pengikut mazhab, karena secara materil, sumber sekunder tentunya tidak dapat dipisahkan dari sumber utama.
Ketiga, ilmu ushul fikih juga perlu mendapat perhatian untuk diaktualisasikan dalam rangka mengembangkan mazhab manhajiy ketika hal itu diperlukan, terutama ketika terjadi kasus-kasus modern yang secara materiil memang belum terjawab oleh fikih Islam klasik.
Keempat, mengembangkan secara nyata materi-materi fikih sosial dan fikih siyâsah dengan rumusan yang dapat dikontekstualisasikan dengan ke-Indonesiaan (fikih Islam kontemporer ke-Indonesiaan).
c) Materi Akhlak atau Tashawuf
Wacana yang menonjol dalam paham Ahlussunnah wal Jamaah di bidang ini terangkum dalam karya-karya Imam al-Ghazali, seperti Bidâyah al-Hidâyah, Minhaj al-Âbidîn dan Ihyâ Ulûm al-dîn, serta karya ulama-ulama lain yang sepaham, dan pada umumnya hampir dapat dikatakan sebagai catatan kaki atas karya-karya al-Ghazali yang menjadi induknya.
Sementara itu, wacana pemikiran Yazid al-Busthami dan al-Baghdadi yang diakui sebagai paham Ahlussunnah wal Jamaah di bidang akhlak atau tashawuf hampir tidak pernah terdengar, kecuali hanya selintas dalam bentuk anekdot atau ilustrasi di sela-sela lembaran kitab tashawuf karya ulama sufi Sunni yang umumnya sepaham dengan al-Ghazali.
Orientasi studi tashawuf pada umumnya di beberapa pondok pesantren, tidak untuk mendalami, apalagi mengembangkan, tetapi lebih terfokus kepada sekedar untuk menjadikannya sebagai pedoman pengalaman, sehingga, seperti tersebut di muka, banyak kalangan awam Sunni, terjebak pada simbol paham tashawuf Sunni dari pada materi substansinya.
Secara materiil, yang membedakan paham tashawuf Sunni dan yang lain hanyalah dalam tingkatan (maqâmât) atau stasiun menuju al-Haqq. Materi paham tashawuf Sunni tidak menunjukkan paham yang ekstrim, sehingga produk materi yang dikembangkan tidak melampaui secara ekstrim petunjuk nashsh agama.
Materi-materi itu perlu diaktualisasikan secara kontekstual, sehingga dapat menjadi perisai paham-paham sekuler yang merugikan bagi pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, terutama dari segi akhlak. Karena itu, juga perlu ada rumusan secara jelas tentang tashawuf Sunni yang kontekstual, yang dapat mengembangkan pola dzikir dan pola pikir secara seimbang. Selain hal itu mengungkapkan misi komunikasi spiritual antara manusia dengan Tuhan melalui stasiun-stasiun itu, secara sederhana juga mengungkapkan pedoman dan petunjuk praktis tashawuf Sunni.
=============
Keempat, mengembangkan secara nyata materi-materi fikih sosial dan fikih siyâsah dengan rumusan yang dapat dikontekstualisasikan dengan ke-Indonesiaan (fikih Islam kontemporer ke-Indonesiaan).
c) Materi Akhlak atau Tashawuf
Wacana yang menonjol dalam paham Ahlussunnah wal Jamaah di bidang ini terangkum dalam karya-karya Imam al-Ghazali, seperti Bidâyah al-Hidâyah, Minhaj al-Âbidîn dan Ihyâ Ulûm al-dîn, serta karya ulama-ulama lain yang sepaham, dan pada umumnya hampir dapat dikatakan sebagai catatan kaki atas karya-karya al-Ghazali yang menjadi induknya.
Sementara itu, wacana pemikiran Yazid al-Busthami dan al-Baghdadi yang diakui sebagai paham Ahlussunnah wal Jamaah di bidang akhlak atau tashawuf hampir tidak pernah terdengar, kecuali hanya selintas dalam bentuk anekdot atau ilustrasi di sela-sela lembaran kitab tashawuf karya ulama sufi Sunni yang umumnya sepaham dengan al-Ghazali.
Orientasi studi tashawuf pada umumnya di beberapa pondok pesantren, tidak untuk mendalami, apalagi mengembangkan, tetapi lebih terfokus kepada sekedar untuk menjadikannya sebagai pedoman pengalaman, sehingga, seperti tersebut di muka, banyak kalangan awam Sunni, terjebak pada simbol paham tashawuf Sunni dari pada materi substansinya.
Secara materiil, yang membedakan paham tashawuf Sunni dan yang lain hanyalah dalam tingkatan (maqâmât) atau stasiun menuju al-Haqq. Materi paham tashawuf Sunni tidak menunjukkan paham yang ekstrim, sehingga produk materi yang dikembangkan tidak melampaui secara ekstrim petunjuk nashsh agama.
Materi-materi itu perlu diaktualisasikan secara kontekstual, sehingga dapat menjadi perisai paham-paham sekuler yang merugikan bagi pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, terutama dari segi akhlak. Karena itu, juga perlu ada rumusan secara jelas tentang tashawuf Sunni yang kontekstual, yang dapat mengembangkan pola dzikir dan pola pikir secara seimbang. Selain hal itu mengungkapkan misi komunikasi spiritual antara manusia dengan Tuhan melalui stasiun-stasiun itu, secara sederhana juga mengungkapkan pedoman dan petunjuk praktis tashawuf Sunni.
=============
Standar pengembangan aswajaLOGIC PMII Komisariat UIN Sgd Bandung. (Konteks saat ini)