Pornografi DALAM PERDEBATAN Feminis.
MEDIA FOR SOCIAL RESPONSIBILITY
PANDANGAN SAHABATI MEYOAL PORNOGRAFI.
perdebatan Panjang dalam penisme islam.
Tubuh perempuan telah dikonstruksi bukan menjadi milik perempuan. Setiap detail bagian tubuh perempuan menjadi bagian dari kepentingan pihak lain. Perempuan dihargai sekaligus dijatuhkan karena tubuhnya. Pada sisi lain, perempuan dilihat karena fungsi reproduksinya. Fungsi biologis ini juga menghantarkan perempuan dalam peran-peran pengasuhan, perawatan, tuntutan sikap kasih sayang dan kelembutan. Oleh karena itu, perempuan harus mampu menjalankan tuntutan masyarakat untuk dapat berprilaku sebagaimana fungsi tubuhnya. Di sisi lain, tubuh perempuan juga didefinisikan sebagai tubuh yang mengandung sensualitas yang dapat menimbulkan hasrat seksual laki-laki. Karena sensualitasnyalah, tubuh perempuan harus terkungkung dalam jerat norma dan hukum yang hanya melihat pada kepentingan kaum laki-laki. Di satu sisi, perempuan harus menjadi perempuan baik-baik sebagaimana tuntutan norma, sedangkan di sisi lain, sosok perempuan yang menampilkan seksualitas, sensualitas, bahkan agresifitas seksualitas (soft pornografi), mendapat kecaman dari kelompok moralis sekaligus dijadikan obyek budaya dan ekonomi oleh masyarakat patriarkhal.[2]
Ketika mempersoalkan seksualitas, seringkali dikaitkan dengan pornografi, erotisme dan sensualitas. Sedangkan batasan-batasan terminologi tersebut saling tumpang tindih[3]. Dalam konteks Indonesia, belum ada rumusan yang jelas baik dari sisi hukum legal formal maupun aturan konfensional yang disepakati bersama. Seolah semua pihak memiliki batasan sendiri-sendiri, baik dari kalangan agamawan, politisi, negarawan, mentri, dan kaum feminis. Batasan yang dikemukakan didasarkan atas persepsi masing-masing terhadap pemahaman pornografi, erotisme, maupun sensualitas itu sendiri.[4] Sehingga batasannya menjadi bias, subyektif dan sarat kepentingan.
Inul Daratista adalah salah satu contoh bagaimana potongan-potongan tubuh perempuan menjadi sesuatu yang dinilai dapat merusak dan menghancurkan tatanan norma yang berlaku. Gerakan tubuh perempuan dianggap sebagai gerakan yang merangsang, dapat menimbulkan libido laki-laki, dan bersifat erotis. Bahkan aspek hukum, kepatutan, kepantasan dan kesopanan yang mewarnai fenomena gerak tubuh dan persoalan erotisme semakin menguat, sehingga atas nama kepatutan dan kesopanan inilah, kreatifitas dan atraksi yang dilakukan perempuan harus dijaga, dibatasi, bahkan dimusnahkan.
Kaum feminis dan kaum moralis sama-sama mendefinisikan pornografi sebagai penggambaran material seksual yang mendorong pelecehan seksual dengan kekerasan dan pemaksaan. Teori feminis berbeda dari konservatisme dalam hal mendefinisikan pornografi. Problem pornografi lebih sebagai fenomena politik daripada sekedar masalah moral. Seperti Robin Morgan yang menyatakan bahwa pornografi adalah teori sedangkan perkosaan adalah praktiknya.[5]
Menyikapi permasalahan pornografi, apakah solusi atas fenomena yang ada dapat selesai hanya dengan memasukkan pornografi dalam hukum legal formal saja? Lantas bagaimana dengan akses terhadap informasi yang disajikan dalam era global saat ini, dimana setiap manusia dapat mengakses segala hal tanpa batas, termasuk sajian pornografi? Lantas problem apa yang muncul saat pornografi masuk dalam dunia hukum pidana dan perdata? Apa saja perdebatan yang muncul di kalangan para feminis tentang problem pornografi dan hukum? bagaimana para feminis melihat pornografi dan dampaknya bagi perempuan? dan mungkinkah hukum dapat menjadi salah satu solusi atas permasalahan pornografi?
Perdebatan feminis kali ini sebagaimana tulisan Carol Smart dalam bukunya yang berjudul Feminism and The Power of Law. Smart mengungkapkan perdebatan tersebut dan menyatakan bahwa pornografi yang dipidanakan atau diperdatakan, bukan justru menyelesaikan masalah, akan tetapi semakin membuat permasalahan pornografi semakin kabur dan tidak jelas.
Definisi Pornografi.
Perdebatan tentang definisi pornografi dikalangan para feminis belum membuahkan sebuah kesepakatan. Carol Smart melihat dua kategori perbedaan yang utama dalam perdebatan tentang pornografi, yaitu pornografi sebagai sebuah tindak kekerasan dan pornografi sebagai sebuah representasi. Kelompok yang melihat pornografi sebagai sebuah tindak kekerasan diwakili oleh Andrea Dworkin (1981) dan Catherine A. MacKinnon (1987) sedangkan pada kelompok yang kedua ada Brown (1981), Kuhn (1985) dan Coward (1987).
Di kalangan para feminis, pornografi menggambarkan tentang dominasi masyarakat patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai kelompok subordinat. Perempuan dalam pornografi dibuat sedemikian rupa sehingga ditempatkan hanya sebagai obyek seksual bagi laki-laki. Hal ini dapat kita lihat pada berbagai sajian pornografi yang lebih menonjolkan pada potongan-potongan tubuh perempuan yang dikonstruksi menjadi bagian erotis untuk kepentingan seksual laki-laki. Potongan paha, payudara, vagina, suara, dan ekspresi wajah perempuan menjadi fokus penting dalam sajian pornografi, di mana hal sama tidak terjadi pada laki-laki.
Akan tetapi perdebatan di kalangan feminis berkembang kepada ekspresi kenikmatan yang ditunjukkan oleh perempuan lebih mengarah pada pornografi sadistis di mana perempuan dilukiskan seperti diperkosa, dipukul, diikat dan seterusnya. Ekspresi ini tentu saja mengajarkan bagaimana perempuan dan tubuhnya dikonstruksi untuk dapat menerima berbagai bentuk kekerasan dan menormalisasi berbagai tindak kekerasan seksual. Tubuh perempuan tidak saja dilihat sebagai bagian dari obyek seksual laki-laki, akan tetapi juga diposisikan sebagai potongan tubuh bukan manusia, yang menempatkan kesakitan, kelukaan dan perkosaan sebagai sebuah kenikmatan yang ”wajar”.
Melihat sebuah tindakan, menurut Williams, dapat dianalisa dari fungsi-fungsi yang ada di balik sebuah tindakan. Setidaknya, dalam pornografi, dua fungsi yang perlu dilihat adalah pada niat dan cara penyajiannya. Sehingga sesuatu dapat dilihat sebagai sebuah aksi pornografi jika sudah memiliki niat untuk membangkitkan hasrat seksual orang yang melihat dan atau mendengarnya. Dengan niatan tersebut, tentu saja penyajiannya dengan menggunakan berbagai materi seksual seperti menggunakan organ tubuh, bagian tubuh, aktifitas, suara dan sebagainya. Jika sebuah perbuatan memiliki dua fungsi tersebut, maka dapat dikatakan sebagai bagian dari pornografi. Sebagai contoh pada banyak literatur buku-buku kesehatan dan kedokteran yang menampilkan organ atau anatomi tubuh manusia. Gambar dan tampilan yang terdapat dalam buku-buku tersebut adalah bagian tubuh yang dianggap tabu untuk dipertontonkan, akan tetapi karena tidak ada unsur niat untuk menggugah hasrat seksual pembacanya, maka buku-buku tersebut tampil berbeda dengan buku-buku yang memang sudah memiliki fungsi niat tersebut di atas. Buku-buku tersebut secara norma budaya ternyata dapat diterima. Karenanya Williams menegaskan bahwa harus ada batasan yang jelas dalam pembahasan pornografi jika dikaitkan dengan norma-norma budaya.
Sebelum lebih jauh membahas dilema pornografi ketika dijerat dalam hukum formal, akan terlebih dahulu kita bahas beberapa perbedaan teori mendasar di kalangan para feminis tentang pornografi ini.
a. Pornografi sebagai Kekerasan.
Pornografi berasal dari bahasa Yunani πορνογραφία pornographia yang makna harfiahnya adalah tulisan tentang atau gambar tentang pelacur. Pornografi didefinisikan sebagai penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual.[6] Definisi ini dipertegas oleh Dworkin dengan penekanan pada perempuan, sehingga pornografi didefinisikan Dworkin sebagai penggambaran perempuan dan seksualitas yang dimilikinya sebagai pelacur. Dari definisi ini, dapat kita lihat bagaimana perempuan direndahkan dan dijadikan obyek seksual bagi laki-laki. Selain itu, pornografi tidak hanya merepresentasikan praktik seksual yang dianggap netral (heteroseksual), tetapi juga menggambarkan dominasi penguasaan laki-laki terhadap perempuan.
MacKinnon lebih jelas menggambarkan pornografi sebagai grafis yang menunjukkan subordinasi seksual perempuan secara eksplisit melalui gambar-gambar, kata-kata yang menunjukkan dehumanisasi perempuan, obyek seksual, komoditi, penikmat kekerasan, kesakitan, perkosaan, (dengan cara) diikat, disayat, dipotong/mutilasi, dirusak, dibuat memar atau bentuk-bentuk penyiksaan fisik, budak seksual atau sasaran pemuas seksual, dipenetrasi dengan sesuatu benda atau hewan, direpresentasikan secara sadis dalam skenario, luka cidera, penyiksaan, tidak berdaya, mengeluarkan darah, tersiksa, memar atau kondisi sejenisnya.[7]
Dari pembahasan diatas dapat kita lihat dua komponen yang berbeda antara Williams, Dworkin dan MacKinnon. Jika Williams melihat permasalahan dasar pornografi terletak pada batasan yang tidak jelas, maka Dworkin dan MacKinnon melihat pornografi sebagai sebuah keterpaksaan dan kekerasan. MacKinnon melihat salah satu pengaruh negatif pornografi dapat menyebabkan sikap dan prilaku manusia yang cenderung melakukan kekerasan dan diskriminasi. Saat ini, pengaruh tersebut dapat kita amati melalui berbagai media massa yang mengungkap fakta semakin banyaknya tindak kekerasan seksual yang dilakukan laki-laki kepada perempuan. Pengakuan di antara para pelaku kekerasan seksual tersebut dilakukannya setelah mereka melihat, membaca, dan atau menonton berbagai tayangan pornografi. Lebih ironi lagi, ketika tindak kekerasan ini dilakukan oleh anak-anak dan oleh keluarga terdekat korban, seperti ayah, kakek, kakak laki-laki, paman dan kerabat yang lain.
Keterpaksaan dalam aktifitas seksual sebenarnya tidak hanya terjadi pada pornografi. Menurut MacKinnon, aktifitas seksual yang heterosexual dapat menjadi sebuah keterpaksaan jika relasi heteroseksual dianggap sebagai sebuah satu-satunya relasi yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini jelas terlihat pada bagaimana masyarakat memarginalkan relasi non-heteroseksual yang ada di masyarakat. Kelompok lesbian dan homosexual di lihat sebagai penyimpangan seksual dan tidak dapat diterima oleh norma. Pada pasangan heteroseksualpun aktifitas seksual dapat menjadi keterpaksaan apabila aktivitas seksual yang dilakukan tidak menanyakan persetujuan dari perempuan terlebih dahulu. Dan stereotipe perempuan sebagai obyek seksual menafikan persetujuan perempuan dalam sebuah aktifitas seksual. Terlebih lagi, area jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang tidak sama menunjukkan bahwa erotisme keduanya juga berbeda. Akan tetapi fantasi erotis yang ditekankan pada perempuan seringkali disamakan dengan laki-laki. Situasi ini juga menjadi bagian opresi yang dalam pada perempuan secara seksual.
Melihat pornografi sebagai sebuah keterpaksaan yang bermakna kekerasan adalah dilematis. Karena dengan melihat pornografi sebagai sebuah kekerasan saja akan menutupi berbagai problem dalam relasi heteroseksual atau selainnya. Dengan melihat pornografi sebagai kekerasan, sebenarnya juga menjadi bagian dari pendefisnisian pornografi itu sendiri.
b. Pornografi sebagai Representasi
Carol Smart dalam Feminism and The Power of Law juga melihat para feminis tidak hanya memandang pornografi sebagai tindak kekerasan bagi perempuan. Kelompok feminis yang memiliki pandangan berbeda justru melihat pornografi sebagai sebuah representasi. Dalam pornografi, dapat dilihat bagaimana perempuan juga menikmati karya tersebut. Sehingga para feminis yang melihat pornografi sebagai sebuah representasi menekankan pembedaan antara relasi seksual, representasi seksual dan mencoba mengalihkan penekanan atas konsep ketegasan batasan yang jelas dengan gagasan pornografi sebagai salah satu cara pandang. Sehingga adanya ketimpangan relasi seksual dalam sebuah karya seks tidak dapat dimaknai sebagai bentuk ketimpangan relasi seksual antara laki-laki dan perempuan. Dalam karya seks, perempuan juga dapat mengekspresikan dirinya dan menilainya sebuah karya. Akan tetapi Ros Coward (1987) seperti yang dikutip oleh Smart juga berargumen bahwa pornografi sebagai representasi sebuah rezim (kekuasaan).
Coward melihat representasi tubuh yang telanjang dalam seksualitasnya, atau orang-orang yang melibatkan dirinya dalam sebuah tindakan seks, hal tersebut dapat di tafsirkan oleh masyarakat sebagai tindakan pornografi. Akan tetapi dalam masyarakat yang lain, tindakan seks tersebut dapat saja di nilai sebagai sebuah karya yang tidak pornografi. Karenanya, tidak ada gambaran atau kata-kata yang mempunyai maksud dan makna yang hakiki dan pasti dalam sebuah tindakan ketika gambar dan kata-kata tersebut sudah berada di tangan yang berbeda. Coward memberi contoh bagaimana penyajian sebuah gaya dalam penampilan perempuan digambarkan berbeda-beda. Ambil saja sebuah contoh pada tampilan perempuan dalam iklan dan foto. Dalam penyajian foto, di mana perempuan diatur sedemikian rupa dari pakaian, ekspresi wajah, pose dan sebagainya dapat menggambarkan pornografi. Hal ini berbeda dengan tampilan perempuan dalam foto yang bertujuan untuk sebuah karya seni. Tampilan perempuan dalam foto tersebut juga sangat berbeda dengan tampilan perempuan dalam sebuah iklan, meskipun sebenarnya keduanya memberi pesan yang sama, yaitu mengungkapkan seksualitas perempuan.
Representasi atas seksualitas perempuan dalam foto dan iklan ini sebenarnya berada dalam sebuah bingkai rezim yang lebih besar dan kuat dan mereduksi posisi perempuan. Sebagaimana Wolgast seperti yang dikutip oleh Jeremi Jena mengatakan bahwa pornografi adalah representasi eksplisit perilaku seksual yang digambarkan sedemikian rupa sehingga peran dan status perempuan direduksikan semata-mata sebagai objek seksual yang dimanipulasi dan dieksploitasi.[8] Dengan demikian, pendapat Cowart yang mengatakan bahwa foto merupakan fenomena fakta sedangkan pornografi merupakan produk pesanan tidak sepenuhnya tepat. Di balik pembuatan foto dan film, digunakan penerangan, pakaian tertentu, pengaturan pose dan seterusnya yang menunjukkan bagaimana foto dan film “disiapkan” untuk tujuan tertentu. Hal tersebut juga berkait dengan kondisi-kondisi patriarkhi, rasisme, dan kapitalisme.
Dari sini kita bisa melihat, bagaimana pornografi merupakan bagian dari representasi dari banyak hal, setidaknya merupakan representasi dari hak berekspresi, representasi perempuan sebagai manusia yang otonom dan juga dapat merepresentasikan bagaimana perempuan berada dalam dominasi yang hegemonik sebagai obyek seksual. Sehingga akan tepat apa yang dikatakan oleh Donny Danardono, bahwa setiap karya, dalam bentuk apapun itu, maknanya sangat tergantung pada budaya penikmatnya.[9]
Ketika batasan pornografi sulit didefinisikan, maka batasan yang tidak jelas ini memang menimbulkan masalah, akan tetapi menurut Cowart, apabila batasan pornografi diharuskan jelas batasannya, hal itu justru dapat menimbulkan masalah baru. Sebagai contoh, batasan yang jelas dalam menampilkan organ seks, dianggap sebagai pornografi misalnya, maka bagaimana dengan penampilan yang erotis namun tidak menampakkan organ seks, akan tetapi terlihat dalam pose atau gerak? Dan bagaimana juga dengan penampilan organ seks yang tidak mengarah pada erotisme? Atau bagaimana dengan karya film yang bercerita tentang sebuah masyarakat dengan pakaian budaya dan adat yang di antaranya menampilkan organ seks? Dengan pembatasan tersebut, akan banyak karya film etnografi tentang suku dan budaya, buku-buku kedokteran dan pendidikan lain yang akan terjerat dalam batasan tersebut. Di sinilah Coward ingin menunjukkan bahwa sebuah penyajian tidak dapat dilihat dari satu arah saja, karena akan sulit membedakan antara hakikat pornografi dan erotis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa representasi seksualitas perempuan dalam karya seks juga berada di bawah sebuah rezim besar industri. Seksualitas perempuan dieksploitasi sedemikian rupa sehingga dapat semakin mengukuhkan perempuan sebagai obyek seks bagi laki-laki. Problema ini semakin dilematik saat persoalan trafiking perempuan untuk industri pornografi dan seks semakin luas. Tentu saja kondisi demikian semakin mempersulit posisi perempuan karena di satu sisi perempuan distereotipe sebagai obyek seksual dan harus memberikan pelayanan seks seperti yang dituntut oleh laki-laki, tetapi di sisi lain, perempuan disalahkan karena seksualitas dan erotisme yang dimilikinya.
Ketika seksualitas dan erotisme perempuan yang disorot sebagai permasalahan utama pornografi, maka Brown (1981) membantahnya. Menurutnya, dalam penyajian pornografi, perempuan justru dibentuk dan dijadikan model yang mendasar pada cara pandang masyarakat patriarkhal. Hal ini menggambarkan perempuan sebagai obyek pornografi dan laki-laki sebagai penikmat pornografi. Pornografi menjadi alat untuk menjadikan perempuan sebagai komoditi. Pornografi juga berperan untuk mengeksploitasi perempuan menjadi komoditi yang diinginkan untuk dinikmati oleh orang lain.
Karya seks tidak hanya menempatkan perempuan sebagai kelompok yang menjadi korban. Anneth Kuhn (1985) memperluas analisanya dan menghimbau untuk tidak melihat pornografi hanya dari satu arah saja. Menurutnya, produk pornografi juga membahayakan konsumen baik dari kalangan anak-anak sampai dewasa, aik laki-laki maupun perempuan, karena dapat menimbulkan prilaku yang menyimpang. Oleh karena itulah, Kuhn memandang undang-undang yang membolehkan konsumen pornografi menyembunyikannya dari jangkauan anak-anak, istri, suami, orang tua, dan teman-teman mereka dan hanya menjadikannya bagian dari privasinya sendiri harus ada. Para feminis radikal juga menuntut agar ditingkatkan dalam hal sensor pornografi. Karena ekspresi yang disajikan dalam pornografi yang menunjukkan ketertindasan akan mengajarkan penontonnya untuk melakukan penindasan yang sama. Padahal semakin ditindas seseorang, tidak hanya semakin menunjukkan status dari suatu obyek yang diinginkan., tetapi juga status dari sebuah kebenaran moral dan keinginan untuk menindas.
Perjuangan para feminis seperti Brown, Kuhn dan Cowart telah melihat permasalahan pornografi lebih luas. Mereka tidak hanya melihat pada materi-materi pornografi tetapi juga bagaimana materi-materi tersebut dibuat, dengan tujuan apa dilakukan dan bagaimana akibat yang dapat timbal dari sebuah karya seks.
Pornografi dan Hukum
Pornografi sebagai sebuah problem social, tentu saja perlu di atur agar tidak menimbulkan problem social yang lebih besar. Akan tetapi saat pornografi disentuh oleh hukum, permasalahan pornografi tidak serta merta menjadi tuntas dan teratasi. Bahkan problem pornografi menjadi lebih rumit dan diskriminatif. Pada pembahasan ini, sengaja hanya membatasi permasalahan pornografi ketika masuk dalam hukum pidana dan perdata yang menjadi bagian dari perdebatan para feminis.
Hukum di Inggris menyikapi permasalahan pornografi dengan membatasi publikasi material seperti majalah, buku, tabloit dan lainnya yang dianggap cabul atau tidak senonoh. Dua hal ini, menurut Smart mempengaruhi definisi dan produk hukum pada undang-undang yang ada. Misalnya undang-undang tentang publikasi yang dianggap cabul dalam salah satu hukum di Inggris dibatasi dengan ukuran apabila dibaca, didengar, dilihat bisa merusak moral seseorang. Tujuan dibuatnya undang-undang ini untuk melindungi orang agar tidak memamerkan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin mereka publikasikan. Pelarangan ini berlaku untuk seluruh tempat kecuali klub dan sexshop sebagai ruang khusus orang dewasa.
Sebetulnya hukum pidana tentang pornografi dapat diterima jika difokuskan untuk mencegah kejahatan dan melindungi manusia dari kekerasan seksual. Hanya permasalahannya pada definisi pornografi yang menyulitkan pengadilan untuk menentukan secara pasti tindak kejahatan apa yang berkaitan dengan pornografi. Permasalahan pada criminal law sebenarnya lebih pada formulasi makna representasi pornografi daripada realitas pornografi itu sendiri. Akibatnya ada kesenjangan antara keduanya. Smart mengutip argumen Valverde (1985) yang mengatakan dengan memberikan kekuatan yang lebih besar kepada polisi dan pengadilan dalam hal pornografi adalah strategi yang salah bagi para feminis. Kesimpulan yang sama juga diambil oleh Brants dan Kok (1986) yang menyatakan bahwa kampanye para feminis Belanda yang menuntut untuk menetapkan pornografi dalam criminal law kurang tepat. Brants dan Kok menekankan bahwa yang seharusnya dilakukan adalah criminal law difokuskan pada kekerasan dan diskriminasi seksual dan bukan pada materi-materi pornografi itu sendiri.
Yang pasti industri pornografi telah mengeksploitasi perempuan secara riil. Oleh karena itu akan lebih baik apabila pornografi dihubungkan dengan undang-undang ketenagakerjaan atau undang-undang yang dapat menekan kriminal terjadi. Dimensi industri seks dunia ketiga yang melibatkan kejahatan eksploitasi seksual dan ekonomi perempuan dunia ketiga harus menjadi perhatian para feminis juga. Oleh karena itu, sangat menyesatkan apabila hanya membatasi pada undang-undang pornografi yang terfokus pada perempuan. Hal ini akan memperburuk kondisi perempuan yang bekerja di dalam "industri pornografi" yang bisa saja mereka adalah korban trafiking, korban kekerasan dan lainnya.
Ketika pornografi masuk pada pasal-pasal dalam undang-undang sipil, akan menimbulkan pembatasan kepada para pekerja dan menjadikan kondisi mereka lebih buruk. Setidaknya civil law bisa menghindari problem kekuasaan polisi yang kita ketahui menjadi bagian dari opresi pada perempuan di dalam "industri pornografi". Akan tetapi hal ini juga semakin memperburuk kondisi perempuan karena setiap orang akan dapat menindak setiap tindakan yang dianggap porno. Di sini semakin memungkinkan timbulnya kekerasan-kekerasan lain pada korban. Pada tahun 1983 Caterine MacKinnon dan Andrea Dworkin membuat sebuah strategi dengan menggunakan amandemen konstitusi Amerika tentang hak-hak sipil yang memberikan perlindungan hak-hak sipil di Amerika. Akan tetapi gagal karena Mahkamah Agung didominasi oleh peraturan Indianapolis yang menempatkan pornografi bukan bagian dari hak-hak sipil. Dalam usahanya tersebut, Dworkin dan MacKinnon terlebih dahulu mempersiapkan peraturan Minneapolis pada tahun 1983 dengan alasan untuk melakukan preventif terhadap distribusi pornografi di sebuah daerah. Hal ini dilakukan karena hukum nasional Amerika secara eksplisit memberikan perlindungan terhadap industri pornografi. Oleh karena itu, Dworkin dan MacKinnon menggunakan strategi melalui peraturan Minneapolis dan menganjurkan secara perorangan para perempuan mengadukan keluhan tentang pornografi yang melanggar hak-hak mereka.
Strategi penolakan terhadap pornografi sebagai isu diskriminasi seks merupakan sesuatu hal yang menarik. Hal itu dikarenakan perempuan memiliki kesempatan untuk melihat pornografi dengan cara yang lebih nyaman dan lebih privat antara mereka dengan pasangannya. Bagaimanapun juga strategi yang dilakukan Dworkin dan MacKinnon ini memberikan penyadaran pada masyarakat luas dan mendorong para feminis untuk memilih sisi yang berbeda dengan beberapa pandangan yang berbeda pula. Strategi ini juga memungkinkan bahwa hukum bisa menekan distribusi pornografi karena komplain individu perempuan yang mendapatkan perlakuan tidak nyaman, bahkan mengalami tindak kejahatan dapat dilakukan.
Epilog
Hukum sebenarnya dapat digunakan sebagai solusi atas permasalahan pornografi. Tetapi hal ini bukan berarti masalah pornografi tuntas. Memahami pornografi harus lebih hati-hati, karena permasalahan pornografi tidak hanya pada kepuasan seksual dan dorongan libido seksual laki-laki. Valverde menyatakan, sekalipun pornografi yang bersifat sadistis telah menimbulkan kemarahan pada kebanyakan perempuan, tetapi yang lebih berbahaya adalah kultur telah membentuk emosional dan pengembangan seksualitas perempuan. Smart melihat representasi perempuan dalam berbagai iklan, komedi, maupun roman, telah memberikan pengaruh secara luas. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan karena tampilan pornografi yang ada. Permasalahan semakin dalam karena yang dipermasalahkan hanya pada tampilan produk pornografi, namun serangkaian rantai proses bagaimana pornografi itu diciptakan tidak menjadi perhatian. Tampilan pornografi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, namun lebih merupakan hasil dari sebuah rangkaian kegiatan besar yang melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingan.
Mencari solusi melalui pendekatan hukum pidana terhadap permasalahan pornografi dapat meminimalisir kekerasan terhadap perempuan. Meskipun batasan yang tidak jelas di dalam pornografi mengakibatkan para penegak hukum menjadi kesulitan untuk menentukan secara pasti tindak kejahatan apa yang berkaitan dengan pornografi. Hal ini juga merupakan imbas dari definisi pornografi yang belum disepakati dan terus menjadi wacana yang diperdebatkan. Carol Smart merasa strategi menggunakan pendekatan hukum perdata dalam permasalahan pornografi dapat memberikan manfaat. Setidaknya akan ada pertimbangan interpretasi baru tentang cara penyajian pornografi yang tidak mendiskriminasi seksualitas perempuan. Sementara efek negatifnya dapat memperkuat definisi pornografi yang mendiskriminasi seksual perempuan. Pornografi merupakan suatu isu yang jelas-jelas mengungkapkan batas hukum yang berkaitan dengan hak-hak perempuan. Oleh karena itu, mencoba memasukkan permasalahan pornografi dalam undang-undang seolah-olah hukum merupakan satu-satunya instrumen yang bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pornografi. Strategi ini bahkan bisa menjadikan permasalahan pornografi menjadi bias atau permasalahan mendasar dalam pornografi semakin tidak jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Arivia, Gadis, Feminisme: Sebuah Kata Hati, Cet. 1, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Donny Danardono, Tak Mungkinnya Norma Hukum Antipornografi, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/29/swara/2683713.htm
Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme, diterjemahkan oleh Mundi Rahayu dari buku Dictionary of Feminist Thery, Cet. 1, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, Januari 2002.
id.wikipedia.org/wiki/Pornografi - 92k
Ida, Rachmah, Tubuh Perempuan dalam Goyang Dangdut, dalam Jurnal Perempuan no. 41, Ed. Seksualitas, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, Cet. I, Mei 2005.
Jeremias Jena, Mendefinisikan pornografi, http://www.freelists.org/archives/ppi/05-2006/msg00416.html
Jurnal Perempuan edisi Pornografi no. 38, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Cet. I, November 2004.
Santoso, Edhi, Pornografi: Ada Apa Denganmu, artikel dalam Suara APIK, ed. 25, Jakarta: LBH APIK, 2005.
Smart, Carol, Feminism and The Power of Law, London, 1989.
Penulis adalah pengurus PP. Fatayat NU, wakil direktur Nurani Sehat, mahasiswi pasca sarjana UI jurusan Kajian Perempuan dan sedang mengikuti kuliah berseri di Sekolah Pasca Sarjana UGM Jogjakarta.
PANDANGAN SAHABATI MEYOAL PORNOGRAFI.
perdebatan Panjang dalam penisme islam.
Tubuh perempuan telah dikonstruksi bukan menjadi milik perempuan. Setiap detail bagian tubuh perempuan menjadi bagian dari kepentingan pihak lain. Perempuan dihargai sekaligus dijatuhkan karena tubuhnya. Pada sisi lain, perempuan dilihat karena fungsi reproduksinya. Fungsi biologis ini juga menghantarkan perempuan dalam peran-peran pengasuhan, perawatan, tuntutan sikap kasih sayang dan kelembutan. Oleh karena itu, perempuan harus mampu menjalankan tuntutan masyarakat untuk dapat berprilaku sebagaimana fungsi tubuhnya. Di sisi lain, tubuh perempuan juga didefinisikan sebagai tubuh yang mengandung sensualitas yang dapat menimbulkan hasrat seksual laki-laki. Karena sensualitasnyalah, tubuh perempuan harus terkungkung dalam jerat norma dan hukum yang hanya melihat pada kepentingan kaum laki-laki. Di satu sisi, perempuan harus menjadi perempuan baik-baik sebagaimana tuntutan norma, sedangkan di sisi lain, sosok perempuan yang menampilkan seksualitas, sensualitas, bahkan agresifitas seksualitas (soft pornografi), mendapat kecaman dari kelompok moralis sekaligus dijadikan obyek budaya dan ekonomi oleh masyarakat patriarkhal.[2]
Ketika mempersoalkan seksualitas, seringkali dikaitkan dengan pornografi, erotisme dan sensualitas. Sedangkan batasan-batasan terminologi tersebut saling tumpang tindih[3]. Dalam konteks Indonesia, belum ada rumusan yang jelas baik dari sisi hukum legal formal maupun aturan konfensional yang disepakati bersama. Seolah semua pihak memiliki batasan sendiri-sendiri, baik dari kalangan agamawan, politisi, negarawan, mentri, dan kaum feminis. Batasan yang dikemukakan didasarkan atas persepsi masing-masing terhadap pemahaman pornografi, erotisme, maupun sensualitas itu sendiri.[4] Sehingga batasannya menjadi bias, subyektif dan sarat kepentingan.
Inul Daratista adalah salah satu contoh bagaimana potongan-potongan tubuh perempuan menjadi sesuatu yang dinilai dapat merusak dan menghancurkan tatanan norma yang berlaku. Gerakan tubuh perempuan dianggap sebagai gerakan yang merangsang, dapat menimbulkan libido laki-laki, dan bersifat erotis. Bahkan aspek hukum, kepatutan, kepantasan dan kesopanan yang mewarnai fenomena gerak tubuh dan persoalan erotisme semakin menguat, sehingga atas nama kepatutan dan kesopanan inilah, kreatifitas dan atraksi yang dilakukan perempuan harus dijaga, dibatasi, bahkan dimusnahkan.
Kaum feminis dan kaum moralis sama-sama mendefinisikan pornografi sebagai penggambaran material seksual yang mendorong pelecehan seksual dengan kekerasan dan pemaksaan. Teori feminis berbeda dari konservatisme dalam hal mendefinisikan pornografi. Problem pornografi lebih sebagai fenomena politik daripada sekedar masalah moral. Seperti Robin Morgan yang menyatakan bahwa pornografi adalah teori sedangkan perkosaan adalah praktiknya.[5]
Menyikapi permasalahan pornografi, apakah solusi atas fenomena yang ada dapat selesai hanya dengan memasukkan pornografi dalam hukum legal formal saja? Lantas bagaimana dengan akses terhadap informasi yang disajikan dalam era global saat ini, dimana setiap manusia dapat mengakses segala hal tanpa batas, termasuk sajian pornografi? Lantas problem apa yang muncul saat pornografi masuk dalam dunia hukum pidana dan perdata? Apa saja perdebatan yang muncul di kalangan para feminis tentang problem pornografi dan hukum? bagaimana para feminis melihat pornografi dan dampaknya bagi perempuan? dan mungkinkah hukum dapat menjadi salah satu solusi atas permasalahan pornografi?
Perdebatan feminis kali ini sebagaimana tulisan Carol Smart dalam bukunya yang berjudul Feminism and The Power of Law. Smart mengungkapkan perdebatan tersebut dan menyatakan bahwa pornografi yang dipidanakan atau diperdatakan, bukan justru menyelesaikan masalah, akan tetapi semakin membuat permasalahan pornografi semakin kabur dan tidak jelas.
Definisi Pornografi.
Perdebatan tentang definisi pornografi dikalangan para feminis belum membuahkan sebuah kesepakatan. Carol Smart melihat dua kategori perbedaan yang utama dalam perdebatan tentang pornografi, yaitu pornografi sebagai sebuah tindak kekerasan dan pornografi sebagai sebuah representasi. Kelompok yang melihat pornografi sebagai sebuah tindak kekerasan diwakili oleh Andrea Dworkin (1981) dan Catherine A. MacKinnon (1987) sedangkan pada kelompok yang kedua ada Brown (1981), Kuhn (1985) dan Coward (1987).
Di kalangan para feminis, pornografi menggambarkan tentang dominasi masyarakat patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai kelompok subordinat. Perempuan dalam pornografi dibuat sedemikian rupa sehingga ditempatkan hanya sebagai obyek seksual bagi laki-laki. Hal ini dapat kita lihat pada berbagai sajian pornografi yang lebih menonjolkan pada potongan-potongan tubuh perempuan yang dikonstruksi menjadi bagian erotis untuk kepentingan seksual laki-laki. Potongan paha, payudara, vagina, suara, dan ekspresi wajah perempuan menjadi fokus penting dalam sajian pornografi, di mana hal sama tidak terjadi pada laki-laki.
Akan tetapi perdebatan di kalangan feminis berkembang kepada ekspresi kenikmatan yang ditunjukkan oleh perempuan lebih mengarah pada pornografi sadistis di mana perempuan dilukiskan seperti diperkosa, dipukul, diikat dan seterusnya. Ekspresi ini tentu saja mengajarkan bagaimana perempuan dan tubuhnya dikonstruksi untuk dapat menerima berbagai bentuk kekerasan dan menormalisasi berbagai tindak kekerasan seksual. Tubuh perempuan tidak saja dilihat sebagai bagian dari obyek seksual laki-laki, akan tetapi juga diposisikan sebagai potongan tubuh bukan manusia, yang menempatkan kesakitan, kelukaan dan perkosaan sebagai sebuah kenikmatan yang ”wajar”.
Melihat sebuah tindakan, menurut Williams, dapat dianalisa dari fungsi-fungsi yang ada di balik sebuah tindakan. Setidaknya, dalam pornografi, dua fungsi yang perlu dilihat adalah pada niat dan cara penyajiannya. Sehingga sesuatu dapat dilihat sebagai sebuah aksi pornografi jika sudah memiliki niat untuk membangkitkan hasrat seksual orang yang melihat dan atau mendengarnya. Dengan niatan tersebut, tentu saja penyajiannya dengan menggunakan berbagai materi seksual seperti menggunakan organ tubuh, bagian tubuh, aktifitas, suara dan sebagainya. Jika sebuah perbuatan memiliki dua fungsi tersebut, maka dapat dikatakan sebagai bagian dari pornografi. Sebagai contoh pada banyak literatur buku-buku kesehatan dan kedokteran yang menampilkan organ atau anatomi tubuh manusia. Gambar dan tampilan yang terdapat dalam buku-buku tersebut adalah bagian tubuh yang dianggap tabu untuk dipertontonkan, akan tetapi karena tidak ada unsur niat untuk menggugah hasrat seksual pembacanya, maka buku-buku tersebut tampil berbeda dengan buku-buku yang memang sudah memiliki fungsi niat tersebut di atas. Buku-buku tersebut secara norma budaya ternyata dapat diterima. Karenanya Williams menegaskan bahwa harus ada batasan yang jelas dalam pembahasan pornografi jika dikaitkan dengan norma-norma budaya.
Sebelum lebih jauh membahas dilema pornografi ketika dijerat dalam hukum formal, akan terlebih dahulu kita bahas beberapa perbedaan teori mendasar di kalangan para feminis tentang pornografi ini.
a. Pornografi sebagai Kekerasan.
Pornografi berasal dari bahasa Yunani πορνογραφία pornographia yang makna harfiahnya adalah tulisan tentang atau gambar tentang pelacur. Pornografi didefinisikan sebagai penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual.[6] Definisi ini dipertegas oleh Dworkin dengan penekanan pada perempuan, sehingga pornografi didefinisikan Dworkin sebagai penggambaran perempuan dan seksualitas yang dimilikinya sebagai pelacur. Dari definisi ini, dapat kita lihat bagaimana perempuan direndahkan dan dijadikan obyek seksual bagi laki-laki. Selain itu, pornografi tidak hanya merepresentasikan praktik seksual yang dianggap netral (heteroseksual), tetapi juga menggambarkan dominasi penguasaan laki-laki terhadap perempuan.
MacKinnon lebih jelas menggambarkan pornografi sebagai grafis yang menunjukkan subordinasi seksual perempuan secara eksplisit melalui gambar-gambar, kata-kata yang menunjukkan dehumanisasi perempuan, obyek seksual, komoditi, penikmat kekerasan, kesakitan, perkosaan, (dengan cara) diikat, disayat, dipotong/mutilasi, dirusak, dibuat memar atau bentuk-bentuk penyiksaan fisik, budak seksual atau sasaran pemuas seksual, dipenetrasi dengan sesuatu benda atau hewan, direpresentasikan secara sadis dalam skenario, luka cidera, penyiksaan, tidak berdaya, mengeluarkan darah, tersiksa, memar atau kondisi sejenisnya.[7]
Dari pembahasan diatas dapat kita lihat dua komponen yang berbeda antara Williams, Dworkin dan MacKinnon. Jika Williams melihat permasalahan dasar pornografi terletak pada batasan yang tidak jelas, maka Dworkin dan MacKinnon melihat pornografi sebagai sebuah keterpaksaan dan kekerasan. MacKinnon melihat salah satu pengaruh negatif pornografi dapat menyebabkan sikap dan prilaku manusia yang cenderung melakukan kekerasan dan diskriminasi. Saat ini, pengaruh tersebut dapat kita amati melalui berbagai media massa yang mengungkap fakta semakin banyaknya tindak kekerasan seksual yang dilakukan laki-laki kepada perempuan. Pengakuan di antara para pelaku kekerasan seksual tersebut dilakukannya setelah mereka melihat, membaca, dan atau menonton berbagai tayangan pornografi. Lebih ironi lagi, ketika tindak kekerasan ini dilakukan oleh anak-anak dan oleh keluarga terdekat korban, seperti ayah, kakek, kakak laki-laki, paman dan kerabat yang lain.
Keterpaksaan dalam aktifitas seksual sebenarnya tidak hanya terjadi pada pornografi. Menurut MacKinnon, aktifitas seksual yang heterosexual dapat menjadi sebuah keterpaksaan jika relasi heteroseksual dianggap sebagai sebuah satu-satunya relasi yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini jelas terlihat pada bagaimana masyarakat memarginalkan relasi non-heteroseksual yang ada di masyarakat. Kelompok lesbian dan homosexual di lihat sebagai penyimpangan seksual dan tidak dapat diterima oleh norma. Pada pasangan heteroseksualpun aktifitas seksual dapat menjadi keterpaksaan apabila aktivitas seksual yang dilakukan tidak menanyakan persetujuan dari perempuan terlebih dahulu. Dan stereotipe perempuan sebagai obyek seksual menafikan persetujuan perempuan dalam sebuah aktifitas seksual. Terlebih lagi, area jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang tidak sama menunjukkan bahwa erotisme keduanya juga berbeda. Akan tetapi fantasi erotis yang ditekankan pada perempuan seringkali disamakan dengan laki-laki. Situasi ini juga menjadi bagian opresi yang dalam pada perempuan secara seksual.
Melihat pornografi sebagai sebuah keterpaksaan yang bermakna kekerasan adalah dilematis. Karena dengan melihat pornografi sebagai sebuah kekerasan saja akan menutupi berbagai problem dalam relasi heteroseksual atau selainnya. Dengan melihat pornografi sebagai kekerasan, sebenarnya juga menjadi bagian dari pendefisnisian pornografi itu sendiri.
b. Pornografi sebagai Representasi
Carol Smart dalam Feminism and The Power of Law juga melihat para feminis tidak hanya memandang pornografi sebagai tindak kekerasan bagi perempuan. Kelompok feminis yang memiliki pandangan berbeda justru melihat pornografi sebagai sebuah representasi. Dalam pornografi, dapat dilihat bagaimana perempuan juga menikmati karya tersebut. Sehingga para feminis yang melihat pornografi sebagai sebuah representasi menekankan pembedaan antara relasi seksual, representasi seksual dan mencoba mengalihkan penekanan atas konsep ketegasan batasan yang jelas dengan gagasan pornografi sebagai salah satu cara pandang. Sehingga adanya ketimpangan relasi seksual dalam sebuah karya seks tidak dapat dimaknai sebagai bentuk ketimpangan relasi seksual antara laki-laki dan perempuan. Dalam karya seks, perempuan juga dapat mengekspresikan dirinya dan menilainya sebuah karya. Akan tetapi Ros Coward (1987) seperti yang dikutip oleh Smart juga berargumen bahwa pornografi sebagai representasi sebuah rezim (kekuasaan).
Coward melihat representasi tubuh yang telanjang dalam seksualitasnya, atau orang-orang yang melibatkan dirinya dalam sebuah tindakan seks, hal tersebut dapat di tafsirkan oleh masyarakat sebagai tindakan pornografi. Akan tetapi dalam masyarakat yang lain, tindakan seks tersebut dapat saja di nilai sebagai sebuah karya yang tidak pornografi. Karenanya, tidak ada gambaran atau kata-kata yang mempunyai maksud dan makna yang hakiki dan pasti dalam sebuah tindakan ketika gambar dan kata-kata tersebut sudah berada di tangan yang berbeda. Coward memberi contoh bagaimana penyajian sebuah gaya dalam penampilan perempuan digambarkan berbeda-beda. Ambil saja sebuah contoh pada tampilan perempuan dalam iklan dan foto. Dalam penyajian foto, di mana perempuan diatur sedemikian rupa dari pakaian, ekspresi wajah, pose dan sebagainya dapat menggambarkan pornografi. Hal ini berbeda dengan tampilan perempuan dalam foto yang bertujuan untuk sebuah karya seni. Tampilan perempuan dalam foto tersebut juga sangat berbeda dengan tampilan perempuan dalam sebuah iklan, meskipun sebenarnya keduanya memberi pesan yang sama, yaitu mengungkapkan seksualitas perempuan.
Representasi atas seksualitas perempuan dalam foto dan iklan ini sebenarnya berada dalam sebuah bingkai rezim yang lebih besar dan kuat dan mereduksi posisi perempuan. Sebagaimana Wolgast seperti yang dikutip oleh Jeremi Jena mengatakan bahwa pornografi adalah representasi eksplisit perilaku seksual yang digambarkan sedemikian rupa sehingga peran dan status perempuan direduksikan semata-mata sebagai objek seksual yang dimanipulasi dan dieksploitasi.[8] Dengan demikian, pendapat Cowart yang mengatakan bahwa foto merupakan fenomena fakta sedangkan pornografi merupakan produk pesanan tidak sepenuhnya tepat. Di balik pembuatan foto dan film, digunakan penerangan, pakaian tertentu, pengaturan pose dan seterusnya yang menunjukkan bagaimana foto dan film “disiapkan” untuk tujuan tertentu. Hal tersebut juga berkait dengan kondisi-kondisi patriarkhi, rasisme, dan kapitalisme.
Dari sini kita bisa melihat, bagaimana pornografi merupakan bagian dari representasi dari banyak hal, setidaknya merupakan representasi dari hak berekspresi, representasi perempuan sebagai manusia yang otonom dan juga dapat merepresentasikan bagaimana perempuan berada dalam dominasi yang hegemonik sebagai obyek seksual. Sehingga akan tepat apa yang dikatakan oleh Donny Danardono, bahwa setiap karya, dalam bentuk apapun itu, maknanya sangat tergantung pada budaya penikmatnya.[9]
Ketika batasan pornografi sulit didefinisikan, maka batasan yang tidak jelas ini memang menimbulkan masalah, akan tetapi menurut Cowart, apabila batasan pornografi diharuskan jelas batasannya, hal itu justru dapat menimbulkan masalah baru. Sebagai contoh, batasan yang jelas dalam menampilkan organ seks, dianggap sebagai pornografi misalnya, maka bagaimana dengan penampilan yang erotis namun tidak menampakkan organ seks, akan tetapi terlihat dalam pose atau gerak? Dan bagaimana juga dengan penampilan organ seks yang tidak mengarah pada erotisme? Atau bagaimana dengan karya film yang bercerita tentang sebuah masyarakat dengan pakaian budaya dan adat yang di antaranya menampilkan organ seks? Dengan pembatasan tersebut, akan banyak karya film etnografi tentang suku dan budaya, buku-buku kedokteran dan pendidikan lain yang akan terjerat dalam batasan tersebut. Di sinilah Coward ingin menunjukkan bahwa sebuah penyajian tidak dapat dilihat dari satu arah saja, karena akan sulit membedakan antara hakikat pornografi dan erotis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa representasi seksualitas perempuan dalam karya seks juga berada di bawah sebuah rezim besar industri. Seksualitas perempuan dieksploitasi sedemikian rupa sehingga dapat semakin mengukuhkan perempuan sebagai obyek seks bagi laki-laki. Problema ini semakin dilematik saat persoalan trafiking perempuan untuk industri pornografi dan seks semakin luas. Tentu saja kondisi demikian semakin mempersulit posisi perempuan karena di satu sisi perempuan distereotipe sebagai obyek seksual dan harus memberikan pelayanan seks seperti yang dituntut oleh laki-laki, tetapi di sisi lain, perempuan disalahkan karena seksualitas dan erotisme yang dimilikinya.
Ketika seksualitas dan erotisme perempuan yang disorot sebagai permasalahan utama pornografi, maka Brown (1981) membantahnya. Menurutnya, dalam penyajian pornografi, perempuan justru dibentuk dan dijadikan model yang mendasar pada cara pandang masyarakat patriarkhal. Hal ini menggambarkan perempuan sebagai obyek pornografi dan laki-laki sebagai penikmat pornografi. Pornografi menjadi alat untuk menjadikan perempuan sebagai komoditi. Pornografi juga berperan untuk mengeksploitasi perempuan menjadi komoditi yang diinginkan untuk dinikmati oleh orang lain.
Karya seks tidak hanya menempatkan perempuan sebagai kelompok yang menjadi korban. Anneth Kuhn (1985) memperluas analisanya dan menghimbau untuk tidak melihat pornografi hanya dari satu arah saja. Menurutnya, produk pornografi juga membahayakan konsumen baik dari kalangan anak-anak sampai dewasa, aik laki-laki maupun perempuan, karena dapat menimbulkan prilaku yang menyimpang. Oleh karena itulah, Kuhn memandang undang-undang yang membolehkan konsumen pornografi menyembunyikannya dari jangkauan anak-anak, istri, suami, orang tua, dan teman-teman mereka dan hanya menjadikannya bagian dari privasinya sendiri harus ada. Para feminis radikal juga menuntut agar ditingkatkan dalam hal sensor pornografi. Karena ekspresi yang disajikan dalam pornografi yang menunjukkan ketertindasan akan mengajarkan penontonnya untuk melakukan penindasan yang sama. Padahal semakin ditindas seseorang, tidak hanya semakin menunjukkan status dari suatu obyek yang diinginkan., tetapi juga status dari sebuah kebenaran moral dan keinginan untuk menindas.
Perjuangan para feminis seperti Brown, Kuhn dan Cowart telah melihat permasalahan pornografi lebih luas. Mereka tidak hanya melihat pada materi-materi pornografi tetapi juga bagaimana materi-materi tersebut dibuat, dengan tujuan apa dilakukan dan bagaimana akibat yang dapat timbal dari sebuah karya seks.
Pornografi dan Hukum
Pornografi sebagai sebuah problem social, tentu saja perlu di atur agar tidak menimbulkan problem social yang lebih besar. Akan tetapi saat pornografi disentuh oleh hukum, permasalahan pornografi tidak serta merta menjadi tuntas dan teratasi. Bahkan problem pornografi menjadi lebih rumit dan diskriminatif. Pada pembahasan ini, sengaja hanya membatasi permasalahan pornografi ketika masuk dalam hukum pidana dan perdata yang menjadi bagian dari perdebatan para feminis.
Hukum di Inggris menyikapi permasalahan pornografi dengan membatasi publikasi material seperti majalah, buku, tabloit dan lainnya yang dianggap cabul atau tidak senonoh. Dua hal ini, menurut Smart mempengaruhi definisi dan produk hukum pada undang-undang yang ada. Misalnya undang-undang tentang publikasi yang dianggap cabul dalam salah satu hukum di Inggris dibatasi dengan ukuran apabila dibaca, didengar, dilihat bisa merusak moral seseorang. Tujuan dibuatnya undang-undang ini untuk melindungi orang agar tidak memamerkan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin mereka publikasikan. Pelarangan ini berlaku untuk seluruh tempat kecuali klub dan sexshop sebagai ruang khusus orang dewasa.
Sebetulnya hukum pidana tentang pornografi dapat diterima jika difokuskan untuk mencegah kejahatan dan melindungi manusia dari kekerasan seksual. Hanya permasalahannya pada definisi pornografi yang menyulitkan pengadilan untuk menentukan secara pasti tindak kejahatan apa yang berkaitan dengan pornografi. Permasalahan pada criminal law sebenarnya lebih pada formulasi makna representasi pornografi daripada realitas pornografi itu sendiri. Akibatnya ada kesenjangan antara keduanya. Smart mengutip argumen Valverde (1985) yang mengatakan dengan memberikan kekuatan yang lebih besar kepada polisi dan pengadilan dalam hal pornografi adalah strategi yang salah bagi para feminis. Kesimpulan yang sama juga diambil oleh Brants dan Kok (1986) yang menyatakan bahwa kampanye para feminis Belanda yang menuntut untuk menetapkan pornografi dalam criminal law kurang tepat. Brants dan Kok menekankan bahwa yang seharusnya dilakukan adalah criminal law difokuskan pada kekerasan dan diskriminasi seksual dan bukan pada materi-materi pornografi itu sendiri.
Yang pasti industri pornografi telah mengeksploitasi perempuan secara riil. Oleh karena itu akan lebih baik apabila pornografi dihubungkan dengan undang-undang ketenagakerjaan atau undang-undang yang dapat menekan kriminal terjadi. Dimensi industri seks dunia ketiga yang melibatkan kejahatan eksploitasi seksual dan ekonomi perempuan dunia ketiga harus menjadi perhatian para feminis juga. Oleh karena itu, sangat menyesatkan apabila hanya membatasi pada undang-undang pornografi yang terfokus pada perempuan. Hal ini akan memperburuk kondisi perempuan yang bekerja di dalam "industri pornografi" yang bisa saja mereka adalah korban trafiking, korban kekerasan dan lainnya.
Ketika pornografi masuk pada pasal-pasal dalam undang-undang sipil, akan menimbulkan pembatasan kepada para pekerja dan menjadikan kondisi mereka lebih buruk. Setidaknya civil law bisa menghindari problem kekuasaan polisi yang kita ketahui menjadi bagian dari opresi pada perempuan di dalam "industri pornografi". Akan tetapi hal ini juga semakin memperburuk kondisi perempuan karena setiap orang akan dapat menindak setiap tindakan yang dianggap porno. Di sini semakin memungkinkan timbulnya kekerasan-kekerasan lain pada korban. Pada tahun 1983 Caterine MacKinnon dan Andrea Dworkin membuat sebuah strategi dengan menggunakan amandemen konstitusi Amerika tentang hak-hak sipil yang memberikan perlindungan hak-hak sipil di Amerika. Akan tetapi gagal karena Mahkamah Agung didominasi oleh peraturan Indianapolis yang menempatkan pornografi bukan bagian dari hak-hak sipil. Dalam usahanya tersebut, Dworkin dan MacKinnon terlebih dahulu mempersiapkan peraturan Minneapolis pada tahun 1983 dengan alasan untuk melakukan preventif terhadap distribusi pornografi di sebuah daerah. Hal ini dilakukan karena hukum nasional Amerika secara eksplisit memberikan perlindungan terhadap industri pornografi. Oleh karena itu, Dworkin dan MacKinnon menggunakan strategi melalui peraturan Minneapolis dan menganjurkan secara perorangan para perempuan mengadukan keluhan tentang pornografi yang melanggar hak-hak mereka.
Strategi penolakan terhadap pornografi sebagai isu diskriminasi seks merupakan sesuatu hal yang menarik. Hal itu dikarenakan perempuan memiliki kesempatan untuk melihat pornografi dengan cara yang lebih nyaman dan lebih privat antara mereka dengan pasangannya. Bagaimanapun juga strategi yang dilakukan Dworkin dan MacKinnon ini memberikan penyadaran pada masyarakat luas dan mendorong para feminis untuk memilih sisi yang berbeda dengan beberapa pandangan yang berbeda pula. Strategi ini juga memungkinkan bahwa hukum bisa menekan distribusi pornografi karena komplain individu perempuan yang mendapatkan perlakuan tidak nyaman, bahkan mengalami tindak kejahatan dapat dilakukan.
Epilog
Hukum sebenarnya dapat digunakan sebagai solusi atas permasalahan pornografi. Tetapi hal ini bukan berarti masalah pornografi tuntas. Memahami pornografi harus lebih hati-hati, karena permasalahan pornografi tidak hanya pada kepuasan seksual dan dorongan libido seksual laki-laki. Valverde menyatakan, sekalipun pornografi yang bersifat sadistis telah menimbulkan kemarahan pada kebanyakan perempuan, tetapi yang lebih berbahaya adalah kultur telah membentuk emosional dan pengembangan seksualitas perempuan. Smart melihat representasi perempuan dalam berbagai iklan, komedi, maupun roman, telah memberikan pengaruh secara luas. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan karena tampilan pornografi yang ada. Permasalahan semakin dalam karena yang dipermasalahkan hanya pada tampilan produk pornografi, namun serangkaian rantai proses bagaimana pornografi itu diciptakan tidak menjadi perhatian. Tampilan pornografi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, namun lebih merupakan hasil dari sebuah rangkaian kegiatan besar yang melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingan.
Mencari solusi melalui pendekatan hukum pidana terhadap permasalahan pornografi dapat meminimalisir kekerasan terhadap perempuan. Meskipun batasan yang tidak jelas di dalam pornografi mengakibatkan para penegak hukum menjadi kesulitan untuk menentukan secara pasti tindak kejahatan apa yang berkaitan dengan pornografi. Hal ini juga merupakan imbas dari definisi pornografi yang belum disepakati dan terus menjadi wacana yang diperdebatkan. Carol Smart merasa strategi menggunakan pendekatan hukum perdata dalam permasalahan pornografi dapat memberikan manfaat. Setidaknya akan ada pertimbangan interpretasi baru tentang cara penyajian pornografi yang tidak mendiskriminasi seksualitas perempuan. Sementara efek negatifnya dapat memperkuat definisi pornografi yang mendiskriminasi seksual perempuan. Pornografi merupakan suatu isu yang jelas-jelas mengungkapkan batas hukum yang berkaitan dengan hak-hak perempuan. Oleh karena itu, mencoba memasukkan permasalahan pornografi dalam undang-undang seolah-olah hukum merupakan satu-satunya instrumen yang bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pornografi. Strategi ini bahkan bisa menjadikan permasalahan pornografi menjadi bias atau permasalahan mendasar dalam pornografi semakin tidak jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Arivia, Gadis, Feminisme: Sebuah Kata Hati, Cet. 1, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Donny Danardono, Tak Mungkinnya Norma Hukum Antipornografi, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/29/swara/2683713.htm
Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme, diterjemahkan oleh Mundi Rahayu dari buku Dictionary of Feminist Thery, Cet. 1, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, Januari 2002.
id.wikipedia.org/wiki/Pornografi - 92k
Ida, Rachmah, Tubuh Perempuan dalam Goyang Dangdut, dalam Jurnal Perempuan no. 41, Ed. Seksualitas, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, Cet. I, Mei 2005.
Jeremias Jena, Mendefinisikan pornografi, http://www.freelists.org/archives/ppi/05-2006/msg00416.html
Jurnal Perempuan edisi Pornografi no. 38, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Cet. I, November 2004.
Santoso, Edhi, Pornografi: Ada Apa Denganmu, artikel dalam Suara APIK, ed. 25, Jakarta: LBH APIK, 2005.
Smart, Carol, Feminism and The Power of Law, London, 1989.
Penulis adalah pengurus PP. Fatayat NU, wakil direktur Nurani Sehat, mahasiswi pasca sarjana UI jurusan Kajian Perempuan dan sedang mengikuti kuliah berseri di Sekolah Pasca Sarjana UGM Jogjakarta.